Memiliki Privilege dalam mengatur stabilitas publik memang tidak semata membuat seorang politisi yang memenangkan pemilu itu mampu untuk menggunakan apa yang ia miliki. Meskipun dalam bingkai norma yang umum berlaku mengatakan bahwa hakikat dari keistimewaan karena memiliki kekuasaan merupakan Amanah yang sangat berat, politisi itu lebih cenderung mengambil posisi sebagai manusia yang meninggalkan norma-normat tersebut dengan suatu argumentasi klise yang sudah begitu membosankan “ini semua demi rakyat”, kendatipun kemudian rakyat menerimanya begitu saja dan bahkan ada yang menggadaikan harga dirinya dalam membela.

Persoalan seperti mengabaikan norma dasar dan amanat demokrasi ini, kemudian mengantarkan kita pada fenomena narsistik dari para politisi. Fenomena ini secara empiris pernah dikaji oleh Zoltan Fazekas dari Copenhagen Business School dan Peter K. Hatemi dari The Pennsylvania State University yang menunjukkan bahwa perilaku narsistik dari politisi meningkatkan instabilitas demokrasi. Lebih jauh kita dapat memahami bahwa perilaku narsistik ini seringkali membuat seseorang mengabaikan pendapat orang lain, keresahan publik, hingga mengantarkannya pada perilaku yang mengabaikan rasa malu. Meskipun pada akhirnya di beberapa daerah atau pun negara menganggap perilaku seperti ini merupakan hal yang biasa yang harus dimaklumi. Namanya saja politik, Ah sudahlah!

Kendatipun perilaku narsistik para politisi ini dianggap biasa dan lumrah, kita semestinya menyadari pemakluman terhadap perilaku seperti ini hakikatnya meningkatkan peluang terjadinya pergeseran atas nilai-nilai sosial yang menopang demokrasi dan stabilitas politik. Bukan tidak mungkin di kemudian hari rakyat tidak mempedulikan lagi kebenaran-kebenaran yang terukur dan bisa dipertanggung jawabkan dalam membangun dan memperkokoh civil society. Masyarakat akan meninggalkan kepeduliannya Ketika politisi menyalahgunakan wewenang dengan mengatasnamakan rakyat. Pun demikian Ketika Masyarakat tidak peduli lagi dengan Upaya adu gagasan dalam kontestasi politik karena Masyarakat sudah dibingkai dalam pemikiran yang salah tentang demokrasi yang berkualitas. Atau, yang lebih parah lagi, Masyarakat akan membiarkan seorang politisi yang berkuasa Ketika menyalahi aturan norma dan etika yang bertaut erat dengan perkara yang paling sakral, yaitu Agama. Karena Masyarakat tidak protes, dibenarkan dan bahkan di-endorse tokoh agama.

Sekiranya kita runut lebih jelas ke dalam sisi Islam, kehidupan sosial politik seharusnya dibangun dengan dasar pemahaman yang utuh dari Masyarakat mengenai nilai-nilai kehidupan yang berkaitan dengan keberlanjutan hidup dan martabat sebagai manusia yang beradab. Ketika politisi menunjukkan sifat narsistik yang begitu merusak, sisi kritis dari rakyat betul-betul harus terakomodasi dengan jelas, tidak dihambat oleh persoalan kebutuhan hidup pokok rakyat yang seakan tersandera oleh program subsidi, bantuan, dan program kesejahteraan sosial lainnya. Lantaran ia begitu “narsis” dengan mengatakan bahwa semua ini demi kepentingan rakyat, kita malah menutup mata dan pikiran mengenai stabilitas publik yang terganggu dari sikap-sikap tak pantas yang muncul dari kebijakan dan komunikasi politisi yang sejatinya telah merusak logika publik. Sekiranya ekonomi-politik islam yang menjadi pondasinya, maka tercapainya maslahah (Manfaat) dan falah (Kebahagiaan) itu harus berada dalam kondisi yang sebenarnya, bukan terjadi dalam situasi yang semu yang bias akan kepentingan-kepentingan tidak jelas peruntukkannya untuk stabilitas tamaddun dalam jangka Panjang.

Rakyat harus kokoh dalam pemahaman yang utuh mengenai kehidupan sosial dan politik. Bukan malah larut dalam pergulatan para politisi narsis yang keberadaannya sudah merusak logika publik dari awal. Idealnya, politisi yang berkuasa harus berfikir tentang rakyat yang telah ia minta untuk menopang kekuasaannya di masa-masa kontestasi. Memikirkan dan kemudian mengimplementasikannya pada sikap dan kebijakan yang betul-betul selaras dengan stabilitas demokrasi dalam jangka Panjang, bukan dengan kebijakan yang seolah sengaja menimbulkan konflik di Tengah Masyarakat, lalu kemudian mengambil kesempatan dari kekacauan tersebut.

 

Penulis:

-Mohammad Aliman Shahmi, M.E, Dosen Ekonomi Syariah UIN Mahmud Yunus Batusangkar.

-Peneliti Heezba Networks.

Ikuti kami juga dihalaman Google News

Bagikan: