Bukittinggi – Menyikapi pandangan Jaksa Bukittinggi tentang Surat Kuasa Khusus (SKK) yang sifatnya menunggu dari Pemko Bukittinggi terkait penyelesaian perkara perdata tanah dengan Yayasan Universitas Fort de Kock (UFDK), Kuasa Hukum UFDK, Didi Cahyadi SH, menilai ini ada konflik kepentingan jika Jaksa menerima SKK dari Pemko Bukittinggi.

Sebelumnya, kata Djamaluddin, Kepala Kejaksaan (Kajari) Negeri Bukittinggi, karena ini sifatnya keperdataan maka kita sifatnya menunggu, kalau pihak Pemko memberikan Surat Kuasa Khusus (SKK) kepada kita, kita jalankan.

 

“Dulu pas waktu persidangan gugatan kita juga diberikan SKK, melakukan pendampingan pemerintah kota selaku tergugat,” ucap Kajari Bukittinggi usai memperingati Hari Sumpah Pemuda kemarin di Kantor Kejari Bukittinggi.

Menurut Didi, pada Selasa, (29/10), seharusnya Jaksa melihat dan menimbang bahwa dalam perkara ini ada potensi kerugian keuangan negara karena hilangnya aset Pemerintah kota Bukittinggi dalam bentuk tanah SHM No.655, yang saat ini masih atas nama Syafri Sutan Pangeran.

 

Padahal sebelumnya, tanah SHM No.655 tersebut telah dimenangkan oleh pihak UFDK atas Putusan Mahkamah Agung (MA) dan telah berlangsung proses eksekusi disertai dengan pembayaran dan telah dikuasai oleh pihak UFDK.

Berdasarkan peristiwa tersebut, artinya Pemko Bukittinggi saat ini tidak bisa menyelamatkan asetnya dan kehilangan sejumlah uang negara atas pembayaran tanah tersebut pada saat eksekusi. Dan pada saat itu, Pemko Bukittinggi tidak mau menerima uang dari pihak pemilik asal tanah yang sebelumnya pernah dilaksanakan di Pengadilan Negeri Bukittinggi.

 

“Padahal berita acara eksekusi sudah ditandatangani oleh para pihak mulai dari Tergugat 1, 2, 3 hingga Tergugat 4. Dan Tergugat 4 yang pada saat itu diwakili oleh Pak Isra Yonza (Asisten I) dan selaku Kuasa dari Pemko Bukittinggi,” ujarnya.

Selain itu kata Didi, bahwa KPK juga pernah melakukan koordinasi, dan wawancara dengan pihak kita, lalu menurut KPK bahwa sebenarnya pasca putusan MA, perkara ini juga dapat di uji secara pidana untuk mendapatkan kepastian para pihak.

 

“Dalam kasus ini, artinya kami menilai Pemko Bukittinggi lalai menyelamatkan asetnya. Untuk itu, langkah yang tepat adalah dilakukan uji perkara tersebut secara pidana khusus seiring dengan adanya laporan yang pernah disampaikan oleh pemilik asal tanah ke pihak Kepolisian Daerah Sumbar,” ungkapnya.

Jadi kami menilai, niat Jaksa menunggu SKK dari Pemerintah kota Bukittinggi adalah melanggar asas Undang-Undang Kejaksaan. Karena ada konflik kepentingan atau berbenturan antara Tugas Pokok Kejaksaan selaku Penyidik atau Penuntut Umum baik di perkara Pidana Umum maupun di Pidana Khusus dengan Jaksa selaku Jaksa Pengacara Negara.

 

“Maka dalam perkara ini seharusnya Jaksa mengutamakan tugas pokoknya selaku Penyidik atau Penuntut Umum baik di perkara Pidana Umum maupun di Pidana Khusus dibandingkan jadi Jaksa Pengacara Negara. Itu dalam UU Kejaksaan loh,” tegas Didi.

Sementara itu, hal yang sama disampaikan Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan Publik Fort de Kock, Guntur, SH, MH, untuk kasus tanah Yayasan UFDK dengan pemko, memang betul merupakan perkara perdata, yang saat ini telah selesai proses hukumnya hingga tingkat MA dan telah dilaksanakan eksekusi.

 

Menurut Guntur, namun jangan lupakan akibat lain dari perkara ini adalah TINDAK PIDANA KORUPSI, dengan alasan:

1. Tanah yang diperkarakan secara dejure (hukum) adalah hak Yayasan UFDK dan defacto (kenyataan fisik) telah dikuasai sepenuhnya oleh yayasan UFDK;

2. Uang Pembelian tanah yang dilakulan Pengembalian saat proses eksekusi dengan sengaja tidak diterima oleh Pemko sehingga uang tersebut tidak kembali kepada kas daerah;

3. Pemilik tanah asal telah berulang kali menyurati pemko untuk menerima pengembalian uang pembelian tanah namun sengaja diabaikan oleh Pemko Bukittinggi;

4. Tanah telah hilang dan uang juga tidak kembali, hal ini terjadi dengan kesengajaan karena tidak mematuhi perintah pengadilan, maka telah terpenuhi syarat pokok kasus korupsi, yaitu secara melawan hukum dan kerugian keuangan negara;

5. Yang harus dilakukan oleh Kajari Bukittinggi adalah segera mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan dugaan Tipikor dan memanggil serta memeriksa pihak-pihak baik dari pemko maupun pihak lain terkait, bukan meminta Surat Kuasa Khusus (SKK) dari Pemko Bukittinggi.

 

“Selanjutnya juga sesuai dengan dari KPK, untuk penanganan kasus ini diserahkan kepada penegak hukum setempat, maka Kejari sebaiknya segera saja keluarkan sprindik dan mulai melakukan pemeriksaan,” tutup Guntur. (*)

Ikuti kami juga dihalaman Google News

Bagikan: