Antara Politik dan Krisis Identitas
Oleh : Febri Trifanda
Masalah identitas akhir-akhir ini menjadi sebuah tema yang sangat aktual dan hangat dibicarakan di ruang publik. terkhususnya terkait politik identitas yang menjadi jembatan dikotomi ditengah-tengah masyarakat. Namun seringkali kita terjebak pada konsekuensi politik identitas ketimbang masuk pada persoalan yang paling mendasar dari persoalan tersebut.
Erich Fromm di dalam buku nya yang berjudul Revolusi Harapan membedakan antara identitas diri dengan identitas ego. bahkan ia mengatakan bahwa ditengah masyarakat industri kita mengalami krisis identitas seperti merampas identitas orang lain. lantas apa itu Identitas ?. Identitas adalah sesuatu yang membuat manusia menyatakan dirinya sebagai saya secara absah. Sementara ego (berbeda dari tafsir Freud) adalah pengalaman kebendaan manusia seperti saya memiliki badan, uang, rumah, mobil dan lain sebagainya.
Jadi kita bisa mengklasifikasikan ada dua perbedaan antara identitas diri dan identitas ego atau Menjadi (Being) Vs Memiliki (Having). Sementara Politik adalah sebuah seni untuk menghasilkan kemungkinan-kemungkinan untuk mencapai sebuah tujuan. Dalam hal ini Identitas ego lah yang menjadi persoalan politis nya. seperti misal saya memiliki sebuah pulpen lalu dipinjam oleh orang lain dan hilang. maka akan ada kemungkinan saya untuk mengatakan bahwa itu milik saya dan juga berpotensi masuk ke lumbung emosional.
Di Indonesia, Politik identitas dimaknai sebagai pemanfaatan identitas untuk menghegemoni ruang publik sesuai dengan kepentingan nya. baik itu yang bersifat etnis maupun agama yang mana hal ini cukup laris untuk digunakan. sebagaimana ujar Sigmund Freud bahwa tanah kelahiran atau identitas bisa mempengaruhi ego primordial seseorang dengan yang lain nya. Jadi sekali lagi, di dalam politik identitas itu yang dimainkan adalah identitas ego seperti misal ego kedaerahan.
Tentu saja Politik Identitas tersebut punya dampak terhadap realitas kehidupan masyarakat indonesia yang plural dan majemuk. Yang mana hal ini akan memunculkan dikotomi, diskriminasi, segregasi, sektarianisme, etnosentrisme dan lain sebagainya. Dan itu akan menggerus kehangatan warga negara serta memunculkan ketegangan-ketegangan ditubuh masyarakat yang berpotensi memunculkan chaos.
Di dalam negara demokrasi yang maju, setiap warga negara memiliki sebuah kesadaran akan hak, kewajiban dan tanggung jawabnya baik sebagai individu, masyarakat dan sebagai warganegara. Apalagi di sebuah negara heterogen seperti Indonesia, kita mesti memiliki sebuah kesadaran akan hal tersebut. jangan lagi mengklaim secara arbitrer bahwa saya lah yang paling benar dan paling superior diantara yang lain nya.. Seringkali kita berupaya untuk menyatukan keberagaman yang ada tapi malah menimbulkan perpecahan. tugas kita bukanlah menyatukan perbedaan melainkan merawat perbedaan tersebut.
Di samping itu, Politik identitas tidak bisa dihilangkan selama kepentingan-kepentingan masih beredar. dan itu adalah hal yang wajar ketika kita bicara dalam tataran identitas diri. namun ketika ia telah berada di tataran identitas ego maka disitulah letak persoalan nya. Ketika identitas ego yang dikedepankan di ruang publik tentu saja itu akan memunculkan tandingan dari identitas ego yang lain. maka dari itu, kita mesti sadar akan hak, kewajiban dan tanggung jawab kita sebagai warganegara serta sadar akan keberagaman dan batasan-batasan kita yang mana pondasi berpijak kita adalah kekeluargaan dan semangat kebersamaan (gotong royong).