Bukittinggi – Menjawab Pertanyaan Megawati tentang Niniak Mamak

Penulis : Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H.

[Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI), Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi, dan Direktur PT. Media Bukittinggi Agam]

Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menilai, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) yang dulu ia kenal telah berbeda di masa sekarang. Sebab, menurut Megawati, ada adat istiadat milik Sumbar yang kini mulai terlupakan atau ditinggalkan, yaitu Ninik Mamak. “Bukankah sudah tidak adakah yang namanya tradisi bermusyawarah mufakat oleh Ninik mamak itu?,” kata Megawati dalam pidatonya di acara puncak perayaan HUT ke-49 PDI-P, Senin (10/1/2022).

Presiden ke-5 RI itu mengaku membicarakan soal Ninik Mamak dengan tokoh Muhammadiyah sekaligus tokoh Sumatera Barat, Ahmad Syafii Maarif (Buya). Megawati mengatakan, ia berbincang dan bertanya pada Buya yang juga merupakan anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), mengapa tradisi Ninik Mamak tak ada lagi. Sebelum kita jawab pertanyaan Megawati, jika kita lihat kenyataannya, termasuk saat penulis hadir pada pembahasan Ranperda tentang Lembaga Adat Nagari bersama niniak mamak se-Kabupaten Agam kemarin pada (Sabtu, 15/1/2021) justru didominasi oleh kegelisahan niniak mamak yang posisinya di nagari direduksi oleh pemerintahan formal (walinagari).

Dan jika kita lihat kenyataan, memang dibeberapa nagari Kerapatan Adat Nagari (KAN) hanya berfungsi sebagai legislatif dan yudikatif saja. Buktinya bisa kita lihat di Pasal 6 ayat (1) Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari yang menyatakan bahwa KAN dibentuk sebagai lembaga permusyawaratan tertinggi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Nagari, itupun fungsi KAN dilegislatif direduksi juga dengan adanya Badan Permusyawaratan Nagari (BAMUS) sebagai amanat Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Wajar saja Megawati gelisah dan bertanya karena posisi niniak mamak di Sumatera Barat tidak seperti dahulu lagi. Bagaimana akan ada musyawarah niniak mamak seperti dahulu. Jika dahulu niniak mamak ada di posisi yang tertinggi dalam eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang dibantu oleh malin, manti, dan dubalang, lalu memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengatur kehidupan anak kemenakannya. Bahkan dahulu nagari diperintah oleh kumpulan penghulu-penghulu suku yang memiliki kewenangan yang sama derajatnya dan tergabung kedalam sebuah kerapatan. Setiap keputusan yang menyangkut masalah nagari dimusyawarahkan dalam kerapatan nagari. Musyawarah ini mengacu pada ketentuan adat bulek aia dek pambuluah, bulek bato dek mufakaik serta kamanakan beraja ka mamak, mamak beraja ka panghulu, panghulu barajo ka mufakaik, mufakaik barajo ka nan bana, bana tagak sendirinyo (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat, kemenakan beraja ke paman, paman beraja ke penghulu, penguhulu beraja ke mufakat, mufakat beraja ke yang benar, yang benar tegak dengan sendirinya). Sekarang setiap keputusan bertumpu kepada walinagari bukan kepada keputusan musyawarah niniak mamak nagari lagi, niniak mamak hanya sebagai pengawas dan penyelesai sengketa (legislatif dan yudikatif saja).

KAN menurut Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari ini hanya diisi oleh perwakilan niniak mamak. Bahkan jika kita lihat KAN dibeberapa nagari, tempat niniak mamak berkantor tampak sepi karena jarang digunakan. Kantor KAN yang biasanya terletak di dekat kantor Wali Nagari ini memang jarang digunakan. Karna pusat pemerintahan dan berbagai urusan di nagari ini memang lebih banyak dilakukan di kantor walinagari. Balai adat yang bergonjong ini hanya digunakan tiap kali ada rapat seluruh ninik mamak yang ada di nagari. Itupun hanya dalam waktu-waktu tertentu, tidak rutin sehingga wajar saja kantor KAN sehari-hari digembok.

Apalagi jika lihat pada aturan terbaru tentang nagari, Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari, fungsi niniak mamak yang tergabung dalam KAN bukanlah sebagai eksekutif, namun sebagai legislatif dan yudikatif saja. Dahulu sebelum terbit UU No. 1 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Perda No. 13 Tahun 1983 tentang nagari, niniak mamak melaksanakan ketiga fungsi pemerintahan sekaligus. Wajar saja sebelum orde baru, kedudukan niniak mamak terlihat kuat dan sempat sangat mengkhawatirkan pemerintahan orde baru.

Secara doktrin pemerintahan, pertanyaan dan harapan Megawati ini sesuai dengan J.S. Mill yang percaya bahwa pemerintah lokal akan melindungi hak warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan, menghindari despotisme, memberi kebebasan lebih besar pada individu, dan kesempatan pada individu untuk menikmati sumberdaya politik. Namun, sekali lagi, pada praktek politik global maupun nasional peran politik lokal kemudian tergeser oleh peran politik yang lebih me-nasional, termasuk peran politik lokal niniak mamak kita di Sumatera Barat.

Maka dari itu, untuk menjawab pertanyaan Megawati terkait ninik mamak ini. Mari kita bongkar saja sejarah yuridis historis yang menyatakan, bahwa negaralah yang mereduksi peran niniak mamak pasca dilaksanakannya UU No. 1 Tahun 1979. Undang-undang tentang Pemerintahan Desa ini secara sistematis telah berhasil menggusur eksistensi nagari, sebagaimana yang dilakukannya terhadap berbagai identitas asli masyarakat di belahan lain republik ini. Dan lebih spesifik lagi menyebabkan teralienasinya peran politik ninik mamak selaku pimpinan lokal nagari dari dinamika pemerintahan di level lokal. Bahkan sebagai konsekuensi dihapusnya nagari sebagai unit pemerintahan terendah pada masa orde baru, maka KAN sebagai salah satu struktur dalam nagaripun dibekukan. Akan tetapi, kerapatan nagari sesungguhnya masih ada dengan fungsi hanya sebagai legislatif dan yudikatif saja karena fungsi eksekutif bertumpu penuh di kepala desa. Mirisnya posisi niniak mamak pada era orde baru ini, meski pada era millenial ini telah dikembalikan tidak sesempurna dahulu sebelum direduksi orde baru. Reduksi terhadap kepemimpinan niniak mamak ini bertahan sampai sekarang. Saat ini meski ada kekuasaan niniak mamak secara eksekutif itu hanya terbatas dan direduksi. Bisa dicek pada Perda No. 13 Tahun 1983 tentang nagari yang saat orde baru muncul untuk mensiasati keberadaan niniak mamak yang dibekukan yang hanya fokus pada legislatif dan yudikatif.

Berbagai produk undang- undang tentang pemerintahan daerah di negara ini dengan sangat jelas telah meminggirkan peran politik dan para politisi lokal, atas nama persatuan dan kesatuan nasional. Salah satu produk perundang- undangan yang berhasil menutup ruang bagi politik lokal adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang diikuti dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Kedua produk hukum ini kemudian menjadi senjata yang sangat ampuh untuk melumpuhkan keragaman politik lokal (niniak mamak) yang telah ada di negara ini sejak sebelum negara Indonesia ada.

Selama puluhan tahun, fungsi nagari di Sumatera Barat tergantikan oleh struktur desa yang seragam di seluruh Indonesia. Posisi politik yang dulu dimiliki oleh para ninik mamak (yang memimpin nagari secara kolektif) terpangkas oleh keberadaan para Kepala Desa yang merupakan pemimpin formal. Lalu sekarang setelah dua puluh tahun berlalu. Setelah terwujud kembali ke nagari pun, meski telah ada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang membuka peluang kepada daerah untuk membentuk pemerintahan terdepan tidak lagi harus seragam dengan nama pemerintahan desa, tetapi bisa disebut dengan nama lain selain desa sesuai hak asal usul adat istiadat setempat.

Peluang ini turun secara otentik ke dalam definisi desa yang terdapat pada Pasal 1 Huruf o Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Yang mana perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut di Sumatera Barat ini disambut lewat aturan Pasal 109 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari tetap saja posisi niniak mamak belum kembali ke posisi semula. Tetap posisi politik yang dulu dimiliki oleh para ninik mamak (pemimpin nagari) terpangkas oleh keberadaan para Walinagari yang merupakan pemimpin eksekutif formal. Keberadaan mereka memang masih diakui, namun sebatas untuk mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Nagari oleh Walinagari (hanya legislatif saja). Sementara peran politiknya tidak diberi ruang dalam struktur pemerintahan formal. Tidak heran jika kemudian banyak kaum muda yang kemudian kurang (tidak) mengenal lembaga ini berikut ninik mamak dan perangkat nagari lainnya.

Realitanya bahkan selama pemerintahan walinagari diberlakukan antara ninik mamak dengan kepala nagari malah sering bertolak belakang, walinagari merasa berkuasa, tidak ada kerjasama, karena pada dasarnya pemimpin formal dalam pemerintahan nagari hanyalah walinagari. Antara ninik mamak sebagai pemimpin informal dan walinagari sebagai pemimpin formal berjalan sendiri-sendiri. Jadi, kalo ingin mengembalikan posisi niniak mamak, harus segera direvisi Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari dan posisi niniak mamak yang terpangkas oleh walinagari harus diperbaiki sebagaimana yang dahulu telah pernah dilakukan perbaikan juga pada Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari yang saat itu dinyatakan tidak sesuai lagi dengan semangat penguatan nagari sebagai penyelenggara pemerintahan berdasarkan hukum adat. Peran niniak mamak sebelum ada pengaruh orde baru harus dikembalikan, dengan niniak mamak memegang kendali eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Wajar saja posisi niniak mamak di Ranah Minang mulai memudar karena hanya sebagai lembaga legislatif dan yudikatif saja.

Seharusnya peran ninik mamak dalam masyarakat Minangkabau dikembalikan sebagai pemimpin formal yang memegang kekuasaan yudikatif, eksekutif, dan legislatif sebagaimana peran niniak mamak sebelum direduksi orde baru. Dilihat dari sudut adat Minangkabau ninik mamak merupakan pemimpin formal. Hal ini dikarenakan ada syarat-syarat atau ketentuan yang harus dipenuhi seseorang bila menjabat sebagai ninik mamak. Ditambah pula kenyataan bahwa, seseorang yang akan diangkat menjadi ninik mamak/penghulu akan diresmikan secara besar- besaran dalam sebuah nagari.

Jadi, kenapa peran niniak mamak berkurang di era millenial ini bisa terjawab. Karena dikembalikannya bentuk pemerintahan nagari tidak dengan serta merta menyelesaikan kompleksitas persoalan yang ditumbulkan oleh sentralisasi pemerintahan desa pada orde baru. Ada beberapa hal yang perlu dicatat. Catatan Pertama, nagari saat ini, tidak sama dengan nagari yang ada pasca sentralisasi pada masa Orde Baru. Nagari lama merupakan bentuk pemerintahan adat yang mempunyai kekuasaan dan otonomi serta berdasarkan pada adat dan agama, sedangkan nagari format baru ini dasar utama yang digunakan adalah sumber hukum formal yang membuat nagari ada di bawah kendali pemerintah kabupaten.

Catatan kedua, kembalinya peran politik ninik mamak, baik sebagai pembuat keputusan, pengatur konflik, maupun sebagai aktor intermediary, akan bertemu dengan suatu kondisi riil masyarakat yang juga telah berubah. Masyarakat Minang saat ini relatif lebih modern dan relatif mandiri dari adat, sebagai akibat adanya lost generation akibat adanya pemisahan adat dan negara pada masa sentralisasi. Pada titik ini, tantangan yang perlu dijawab adalah bagaimana mempertemukan antara generasi tua dengan adat yang masih kental dan disertai dengan romantisme kekuasaan di masa lalu, dengan generasi muda yang relatif kurang bersentuhan dengan adat-istiadat yang ada.

Terlebih dari kekurangan yang ada kita bersyukur dengan kembalinya nagari. Sebagai salah satu solusi, maka dinamika dan peran politik nagari dan ninik mamak masih perlu disempurnakan lagi. Maka Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari harus segera disempurnakan kembali (revisi), mengingat kembalinya nagari dan peran politik ninik mamak di Sumatera Barat ini relatif belum lama. Sehingga proses pelembagaannya pun sampai saat ini masih terus berjalan. Dan aturan yang terkait harus terus direvisi, agar posisi niniak mamak tidak direduksi kepemimpinan formal yang membuat niniak mamak hanya berfungsi sebagai limbago yudikatif dan legislatif saja. Seharusnya posisi niniak mamak dikembalikan dan nagari diperintah oleh kumpulan penghulu-penghulu suku yang memiliki kewenangan yang sama derajatnya dan tergabung kedalam sebuah kerapatan. Setiap keputusan yang menyangkut masalah nagari dimusyawarahkan dalam kerapatan nagari. Musyawarah ini mengacu pada ketentuan adat bulek aia dek pambuluah, bulek bato dek mufakaik. Bukan hanya berdasarkan keputusan seorang walinagari saja.(*)

 

 

 

 

Ikuti kami juga dihalaman Google News

Bagikan: