Kalau kita simak dengan cermat, pernyataan Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias dalam rekaman video di media sosial beberapa waktu yang lalu (pada Kamis, 11 September 2025) dan juga video sebelum terpilih menjadi Walikota untuk kedua kalinya. Dapat disimpulkan bahwa Pemko Bukittinggi seolah sedang mencari kepastian hukum tentang kepemilikan tanah yang berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) pada tahun 2007 diatas Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tahun 2005.
Tanah merupakan hal sangat vital terutama bagi masyarakat Indonesia, karena merupakan induk dari segala pokok kebutuhan yang didapatkan dengan proses penguasaan. Penguasaan kepemilikan tanah dapat diperoleh dengan berbagai macam cara, salah satunya yaitu dengan AJB maupun jual beli yang berdasar pada PPJB tanah.
Sebelumnya, Walikota Bukittinggi dalam pertemuan dengan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) pada Kamis, 11 September 2025, menyatakan taat aturan, dan patuh pada Putusan (inkracht) Mahkamah Agung (No. 2108/K/Pdt/2022) tentang perkara perdata tanah di Universitas Fort de Kock.
Lalu, dalam video Ramlan Nurmatias lain, sebelum menjadi Walikota beliau juga menyampaikan, bahwa sekarangkan tanahnya sudah dikuasai oleh Fort De Kock. Ya silakan, saat ini yang dimintakan sertifikatnya, yaitu SHM 655 yang masih atas nama Syafri selaku pemilik asli yang masih dipegang oleh Pemko, maka kita akan carikan jalan keluarnya kalau saya terpilih jadi Walikota.
Analisa Putusan MA No. 2108/K/Pdt/2022
Memaknai atau menganalisis hasil Putusan Mahkamah Agung Nomor 2108 K/Pdt/2022 yang sifatnya final dan mengikat, sepertinya pihak Pemko Bukittinggi maupun Yayasan Universitas Fort de Kock (UFDK) sama-sama perlu mengetahui apa dasar pertimbangan hakim pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 2108K/Pdt/2022 itu serta menganalisa akibat hukum dari putusan tersebut. Secara gamblang Putusan Kasasi MA yang diajukan Pemko Bukittinggi (Tergugat IV Konvensi/Pemohon Kasasi) ditolak dan Pemko Bukittinggi dihukum membayar biaya perkara Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Sementara H. Nazaruddin (Penggugat Konvensi/Termohon Kasasi) memenangkan kontra memori kasasi dan dapat melanjutkan PPJB Sertipikat Hak Milik Nomor 655.
Dalam putusan kasasi itu juga menjelaskan bahwa ada aspek perbuatan melawan hukum dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah terkait sengketa lahan antara Pemerintah Kota Bukittinggi dengan Yayasan Universitas Fort De Kock. Putusan pengadilan menyatakan bahwa jual beli antara Yayasan Fort De Kock dan Syafri adalah sah, dan Yayasan Fort De Kock melanjutkan hak atas tanah tersebut.
Putusan MA tersebut mengabulkan gugatan Penggugat dalam Konvensi (UFDK) dan menolak Penggugat dalam Rekonvensi (Pemko Bukittinggi). Artinya, dalam pertimbangan hukum Putusan MA menguatkan putusan pengadilan sebelumnya, yakni Putusan Pengadilan Tinggi Padang dengan Nomor 68/PDT/2020/PT PDG Tanggal 28 Mei 2020 dan Putusan Pengadilan Negeri Bukittinggi dengan Nomor 28/Pdt.G/2019/PN Bkt Tanggal 11 Maret 2020.
Hakim juga menjelaskan bahwa Para Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum, akibat pemutusan sepihak tanpa kesepakatan. Pemko Bukittinggi selaku Tergugat IV Konvensi dianggap sebagai pembeli beritikad tidak baik yang tidak perlu mendapatkan perlindungan secara hukum (undang-undang) karena membeli tanah dalam PPJB pihak lain dan melibatkan Camat sebagai PPAT.
Artinya, dengan adanya Putusan MA yang inkracht itu dapat disimpulkan Pemko Bukittinggi memang sudah seharusnya menghormati putusan MA, karena dari dua transaksi jual beli antara AJB dan PPJB yang dianggap sah adalah PPJB. Sementara, semua upaya kasasi Pemko Bukittinggi ditolak.
Adapun cuplikan nyata gugatan balasan/Rekonvensi dan Kasasi yang diajukan Pemko Bukittinggi yang ditolak MA, diantaranya sebagai berikut;
Dalam Rekonvensi:
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya,
2. Menyatakan sah Berita Acara Pelepasan Hak Atas Tanah Nomor 06/BA/PPT/XII-2007 tanggal 19 Desember 2007,
3. Menyatakan sah Akta Jual Beli Nomor 36/MKS-2007 tanggal 29 Desember 2007:
4. Menyatakan hukum, bahwa tanah objek perkara dengan Sertifikat Nomor 655/Manggis Ganting dengan Surat Ukur Nomor 12/MG/2007 luas 5.528 m2? (lima ribu lima ratus dua puluh delapan) meter persegi adalah sah Barang Milik Daerah Bukittinggi;
5. dst…
Dalam Kasasi:
1. Menerima permohonan kasasi Pemohon Kasasi/Pembanding/Tergugat IV Konvensi/Penggugat II Rekonvensi,
2. Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Padang Nomor 68/Pdt.G/2020/PT.Pdg tanggal 28 Mei 2020,
3. dst…
Sementara cuplikan Putusan PN Bukittinggi Nomor 28/Pdt.G/2019/PN Bkt yang dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Padang dan Putusan Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Penggugat, diantaranya sebagai berikut;
Dalam Pokok Perkara:
Mengadili:
Dalam Konvensi:
Dalam Eksepsi:
- Menyatakan eksepsi-eksepsi Para Tergugat tidak dapat diterima (niet onverklaard);
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan Perjanjian Perikatan Jual Beli Tanggal 23 November 2005 dilegalisasi oleh Hj. Tessi Levino,S.H.,Notaris di Bukittinggi dengan Nomor 150/D/XI/2005 yang ditandatangani Para Tergugat dan Penggugat sebagai bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang sah dan mengikat para pihak yang menandatanganinya dan pihak-pihak lain sesuai dengan hukum yang berlaku;
- Menyatakan Para Tergugat dan terutama Tergugat I telah melakukan perbuatan melawan hukum kepada Penggugat dan mengakibatkan kerugian bagi Penggugat;
- Menyatakan Tergugat IV adalah pembeli yang beritikad tidak baik yang mengakibatkan kerugian bagi Penggugat sehingga tidak layak untuk mendapatkan perlindungan secara hukum;
- Menghukum Para Tergugat untuk melaksanakan serta melanjutkan kembali seluruh Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanggal 23 November 2005, dilegalisasi oleh Hj. Tessi Levino, SH, Notaris di Bukittinggi dengan Nomor: 150/D/XI/2005 secara penuh dan tuntas sesuai dengan hukum yang berlaku;
- dst…
Pemahaman ini bisa juga dijadikan bagian dari penelitian bagi praktisi hukum secara normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual.
Dari putusan-putusan itu dinyatakan bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 150/D/XI/2005 sudah sah, bahkan menurut Pasal 1320 KUHPerdata bahwa PPJB telah memenuhi syarat. Apalagi Yayasan UFDK juga telah menguasai fisik tanah tersebut secara baik sebagai kelanjutan pelaksanaan eksekusi di PN Bukittinggi yang berita acaranya sudah ditanda tangani oleh semua pihak termasuk pihak Pemko Bukittinggi.
Bedasarkan literatur dari hukumonline.com bahwa Rincian Syarat Sah Perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa syarat sah perjanjian adalah kesepakatan, kecakapan membuat perikatan, pokok persoalan, dan sebab yang tidak terlarang. Agar perjanjian sah di mata hukum, ada sejumlah syarat sah perjanjian yang harus dipenuhi dalam pembuatannya.
Terkait perjanjian atau persetujuan, dalam ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata menerangkan bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Setelah dilakukan eksekusi pada tahun 2022, Pemko Bukittinggi tidak bersedia memberikan SHM nomor 655 tersebut dengan alasan Akta Jual Beli (AJB)-nya tidak secara nyata di batalkan dalam amar putusan tersebut, namun jual beli tanah sudah dicatat dalam daftar aset Pemko Bukittinggi.
Sebenarnya siapa pemilik sah tanah itu?
Nah, sekarang Ramlan Nurmatias sudah menjadi Walikota Bukittinggi untuk kedua kali. Pertanyaannya mengapa Sertifikat HM nomor 655 yang tidak atas nama Pemko itu, belum juga diserahkan baik kepada Sdr. Syafri selaku pemilik asli atau Yayasan Fort de Kock selaku pembeli yang sah, dan masih menahan sertifikat tersebut?
Sebagaimana yang telah diterjemahkan Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias tentang putusan MA itu bahwa Pemko Bukittinggi taat aturan, dan kurang bataratik. Hanya sayangnya, tidak disampaikan secara utuh dengan kalimat lanjutan yaitu tidak layak mendapatkan perlindungan secara hukum.
Pertanyaannya, siapa sesungguhnya pemilik sah tanah tersebut dan bagaimana kedudukan hukumnya? Apakah milik Pemko Bukittinggi atas dasar Akta Jual Beli (AJB) antara Pemko Bukittinggi dengan Sdr. Syafri (Tergugat I Konvensi) atau apakah telah batal demi hukum atau bagaimana?
Lalu, bagaimana masalah kedudukan hukumnya terhadap pembelian tersebut yang telah dicatat dalam aset Pemko Bukittinggi karena uang negara telah keluar dalam pembeliannya, meskipun belum terdaftar atau diberikan nomor inventaris sebagai aset Pemko Bukittinggi karena belum memiliki sertifikat hak pakai Pemko Bukittinggi?
Pertanyaan lanjutannya, apakah bisa Pemko Bukittinggi menyelamatkan asetnya yang selama ini sering diungkapkan? Pertanyaan ini tentu perlu dicari jawaban yang kongkrit. Jika tidak, apa langkah yang mau ditempuh oleh Pemko Bukittinggi berikutnya?
Selain itu, yang perlu dicermati juga adalah, dengan tidak bersedianya Pemko Bukittinggi menerima ganti rugi dari Sdr. Syafri, dan lebih memilih menahan Sertifikat HM 655, (a/n Syafri), maka pihak yang sangat diuntungkan saat ini adalah Sdr. Syafri selaku penjual yang telah menerima uang hasil penjualan tanah SHM nomor 655 sebanyak dua kali dari pihak yang berbeda.
Pencatatan dalam Aset Pemko Bukittinggi
Berbicara tentang apa dasar hukum pencatatan pembelian tanah dalam aset Pemko Bukittinggi, tentunya hal ini juga dapat dipertanyakan. Dasar hukum pengelolaan aset negara dan daerah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (PP BMN/D). Kemudian Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Peraturan ini menjadi acuan utama dalam siklus pengelolaan aset negara dan daerah, meliputi perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, pemindahtanganan, penghapusan, hingga penatausahaan.
Artinya atas dasar peraturan yang tersebut diatas patut dipertanyakan, apakah tanah itu serta-merta dapat diberikan hak kepemilikannya kepada Pemko Bukittinggi, ketika putusan pengadilan telah menentukan bahwa Yayasan Fort De Kock memiliki hak atas kelanjutan kepemilikan tanah yang sah?
Selain itu, apakah pencatatan dalam aset Pemko Bukittinggi telah memiliki kekuatan hukum yang sah dalam mengalahkan hak atas Yayasan Fort De Kock?
Selanjutnya, apakah tidak akan ada masalah dengan pengeluaran uang negara oleh Pemko Bukittinggi dalam membeli tanah yang tidak sah itu, lalu apakah dapat digunakan sebagai alasan untuk menghalangi pelaksanaan putusan pengadilan?
Nampaknya, Pemko Bukittinggi mungkin memang perlu melakukan proses internal untuk meninjau kembali pengeluaran uang negara tersebut dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi adanya dugaan kerugian keuangan negara yang timbul. (Red)














