Bagaikan serial Sinema Elektronik Film Televisi (‘Sinetron FTV’) yang tayang dilayar kaca tentang sengketa tanah antara Pemko Bukittinggi dengan Yayasan Universitas Fort de Kock (UFDK) yang bertahun-tahun tidak kunjung usai. ‘Serial’ ini terkait cerita alat bukti dari masing-masing pihak yang memiliki surat pembelian tanah yang dianggap sah diatas lahan/tanah yang sama.
Berdasarkan data yang dirangkum redaksi, pihak Yayasan UFDK memiliki Perjanjian Pengikatan Jual beli (PPJB) pada tahun 2005 sementara Pemko Bukittinggi juga memiliki Akta Jual Beli (AJB) pada tahun 2007. Semenjak itu, para pihak saling klaim/meyakini secara hukum bahwa masing-masing memiliki hak yang sah dan berlanjut ke tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga ke mahkamah agung.
Menyikapi permintaan pihak Pemko Bukittinggi akhir-akhir ini, bahwa merasa sadar ada perbedaan penafsiran antara Pemko Bukittinggi dengan Yayasan Universitas Fort de Kock (UFDK) atas putusan Mahkamah Agung, maka Pemko Bukittinggi berupaya untuk menyelesaikan sisa perkara tanah tersebut kepada Kejaksaan (untuk jadi Jaksa Pengacara Negara).
Upaya tersebut dirasa cukup menjadi perhatian masyarakat, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan masyarakat tentang bagaimana peran dan fungsi Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum.
Adapun beberapa pertanyaan masyarakat yang muncul, diantaranya adalah;
1. Apakah Jaksa bisa mendampingi untuk menyelesaikan perkara tersebut?
2. Jika Jaksa diminta atas perkara itu, apakah tidak menyalahi aturan yang berlaku atas perkara yang sudah memiliki status keputusan tetap dari hakim mahkamah agung (inkracht)?
3. Apakah Pemko Bukittinggi serius akan meminta bantuan Jaksa untuk menyelesaikan perkara tersebut?
Problematika atas perkara ini memiliki dampak dari berbagai aspek kehidupan masyarakat diseputar kota Bukittinggi, tidak hanya berdampak terhadap antar para pihak namun secara langsung atau tidak langsung berdampak kepada aspek sosial, aspek ekonomi, aspek hukum bahkan aspek politik pemerintahan kota Bukittinggi.
Sebagian masyarakat memiliki pendapat beragam, salah satunya mempertanyakan tugas/peran pemerintah dalam hal ini mencerdaskan kehidupan bangsa saat ini. Seolah tugasnya terhalang karena suatu perkara, yang sebenarnya tidak sejalan dengan tujuan nasional yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Sebelum membahas mengenai dasar hukum kewenangan Kejaksaan tentang perkara ini, perlu diketahui bahwa perkara antara Pemko Bukittinggi dengan Yayasan UFDK masuk kedalam kategori perkara perdata. Yang mana dalam bidang perdata dan tata usaha negara, Jaksa dapat bertindak mewakili negara/pemerintah sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN).
Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan”), dan dijelaskan bahwa pengertian Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Wewenang lain yang dimaksud, menurut Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan di antaranya adalah: di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
Artinya, pertanyaan masyarakat nomor 1 dan 2 dapat disimpulkan dan terjawab, bahwa Kejaksaan memiliki kuasa untuk bertindak atas nama negara atau pemerintah, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan syarat memiliki kuasa khusus. Dengan demikian, Pasal 30 ayat (2) ini memberikan landasan hukum bagi Kejaksaan untuk menjalankan perannya dalam melindungi kepentingan negara dan pemerintah di bidang perdata dan tata usaha negara.
Lebih lanjut, mengutip dari Mengulas Tugas dan Fungsi Jaksa Pengacara Negara, Mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Maryin Basiang dalam tulisannya Tentang Jaksa Selaku Jaksa Pengacara Negara, menyebut makna “kuasa khusus” dalam bidang keperdataan sebagaimana tercantum dalam UU Kejaksaan dengan sendirinya identik dengan jaksa pengacara negara.
Dalam prosedur permintaan surat kuasa khusus kejaksaan melibatkan pengajuan Surat Permohonan Bantuan Hukum beserta Surat Kuasa Khusus (SKK) yang dibuat oleh pemberi kuasa kepada Kejaksaan, untuk kemudian diserahkan ke Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun). Kejaksaan akan menunjuk Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk melakukan telaahan awal, dan jika disetujui, JPN akan menyiapkan administrasi termasuk Surat Kuasa Khusus untuk kemudian diserahkan kembali kepada pemohon.
Berikut ini langkah-langkah Prosedur Permintaan Surat Kuasa Khusus, yang dirangkum redaksi dari berbagai sumber, diantaranya;
1. Penyusunan Surat Kuasa Khusus (SKK),
2. Pengajuan Permohonan ke Kejaksaan,
3. Proses di Kejaksaan,
4. Persetujuan dan Penyiapan Administrasi.
Lalu, bagaimana dengan pertanyaan masyarakat yang tertera di nomor 3, apakah Pemko Bukittinggi serius akan meminta Jaksa untuk menyelesaikan perkara tersebut? Secara normatif dapat disimpulkan bahwa semuanya kembali kepada niat Pemko Bukittinggi itu sendiri. Apakah Pemko Bukittinggi benar-benar mau atau tidak mau mengajukan permohonan surat kuasa khusus untuk menyelesaikan perkara dengan dibantu oleh pihak Kejaksaan?
Hal inilah yang akan dinanti oleh publik tentang permohonan SKK Pemko Bukittinggi kepada Kejaksaan. Kita nantikan, apakah serial ‘Sinetron FTV’ ini akan berakhir dengan adegan-adegan dramatis yang menyayat hati para penontonnya atau perkara ini akan kembali berlanjut ke ranah hukum hingga keluar putusan pengadilan yang baru? Kita tunggu saja. (Red)









