Fenomena politik demokrasi kita terutama dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2024, cukup menjadi perhatian masyarakat dalam menentukan calon kepala daerah di suatu wilayah. Beragam daya dan upaya tim dan pasangan calon memenuhi keinginan dan kebutuhan pemilih agar bisa terpilih dalam pilkada serentak.
Tidak sedikit daya dan upaya dikerahkan, baik dari konsep, strategi, visi misi, tenaga, sumber daya manusia, waktu dan pemikiran tim dan pasangan calon untuk memenuhi syarat pesta demokrasi. Termasuk daya dan upaya dari segi moril maupun materil.
Hal ini merupakan bagian dari upaya pemenuhan kekuatan dari masing-masing tim dan pasangan calon untuk memberi keyakinan agar konstituen dapat ikut memilihnya dalam kontestasi di pilkada.
Ketika kita berbicara politik, merujuk konsep atau pandangan Aristoteles, Filosof dari Yunani tentang politik mengatakan bahwa politik itu sebagai “master of science” yang merupakan kunci untuk memahami lingkungan.
Yang secara umum dapat dipahami bahwa seorang yang berkecimpung dalam dunia politik dituntut untuk memahami keinginan atau kebutuhan masyarakat disekitar.
Selain itu, Ia juga mengatakan bahwa politik tidak bisa dipisahkan dari konflik dan kerja sama. Artinya ketika terjadi sebuah konflik atas sebuah kepentingan dan atau terwujudnya suatu kerjasama itu adalah hal yang biasa dalam dunia politik.
Atas dasar itu semua, politisi dituntut cakap dalam berpikir, berkomunikasi serta kecerdasannya untuk menyampaikan suatu pendapat atau gagasan-gagasan yang bernilai positif tentang lingkungan disekitarnya.
Gagasan-gagasan yang berdampak positif itu terdiri dari berbagai aspek, diantaranya aspek agama, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, budaya, dan lain sebagainya. Dari semua gagasan positif yang akan disampaikan, tentu tidak luput dari latar belakang, kapasitas, integritas, dan kapabilitas sosok atau seorang politisi.
Kita berharap, semakin maju peradaban di suatu wilayah tentu akan semakin maju juga cara berpikir manusia dalam mempertimbangkan suatu hal, membuat suatu hasil karya serta membuat suatu keputusan ke arah yang lebih baik.
Namun demikian, seiring proses waktu berjalan, fenomena politik akhir-akhir ini di negara kita, seolah meniadakan konsep yang bermutu, termasuk kapasitas, integritas, dan kapabilitas dari seorang politisi yang patut dan layak untuk dipilih. Artinya, dunia politik kita tidak lebih hanya menawarkan kuantitas dibandingkan kualitas dari sebuah konsep atau seseorang yang bermutu atau yang layak jadi pemimpin.
Sehingga di dalam pesta demokrasi, masyarakat lebih condong diarahkan kepada hal-hal yang praktis, instan, cepat, tanpa berharap ada nilai mutu yang diperoleh dari sebuah gagasan. Penawaran yang diberikan, seolah yang penting semua dapat merasakan, seolah semua mendapat apa yang diinginkan, seolah-olah sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekarang tanpa memikirkan dampak yang akan muncul, apakah kemajuan ataukah kemunduran peradaban di masa akan datang.
Apakah berharap kuantitas atau hal-hal yang praktis, instan dan cepat dikategorikan hal yang buruk? Mungkin belum tentu juga, karena semua itu tergantung dari konteks dan waktu penggunaannya. Namun, tidak sedikit masyarakat menilai bahwa dalam menjaga kualitas itu lebih penting daripada kuantitas didalam kehidupan pribadi termasuk dalam dunia politik.
Dengan mengutamakan kualitas daripada kuantitas, kita dapat menjalani kehidupan yang lebih bermakna, memuaskan, dan produktif. Lalu, bagaimana jika kuantitas ini dikaitkan dengan seorang politisi yang dicalonkan sebagai seorang pemimpin?
Ketika berbicara tentang kuantitas, tentu akan lebih singkron berbicara dengan persiapan angka-angka dari calon pemimpin dalam bentuk uang untuk memenangkan kontestasi pilkada. Meskipun penyelenggara pemilu terutama Bawaslu selalu berupaya menggaungkan tolak money politic atau melarang politik uang beredar ditengah masyarakat.
Dalam situasi sekarang, money politic atau politik uang seolah tidak bisa dihindarkan oleh para pelaku politik dan para penerima politik uang. Sehingga, awalnya politik adalah seni dari aktivitas ‘master of science’ berubah menjadi aktivitas ‘master of transaction’ (politik transaksional).
Yang pada akhirnya, kesiapan finansial dari masing-masing tim dan pasangan calon kepala daerah seolah yang akan menentukan kalah atau menang dalam sebuah kontestasi di pilkada. Bukan kesiapan dari sebuah pemikiran, gagasan, atau visi-misi pasangan calon untuk membuat proyeksi suatu perubahan atau pembangunan dari berbagai aspek di suatu wilayah.
Meskipun sebagian masyarakat ada yang menilai bahwa kesiapan kecukupan finansial tidak menentukan kalah menang. Tetapi tidak sedikit pula masyarakat secara umum berpandangan bahwa yang punya uang belum tentu menang, tapi yang tidak punya uang sudah bisa dipastikan kalah.
Padangan yang terakhir ini terkesan miris dan menunjukkan bahwa seolah tidak ada ruang bagi kandidat kepala daerah yang memiliki kualitas bisa menang dibandingkan dengan kandidat yang punya kuantitas. Padahal akhirnya, dari sekian banyak pilihan, tentu pilihan yang terbaiklah yang menjadi pilihan dari masing-masing pribadi pemilih yang akan menentukan nasibnya dalam 5 tahun kedepan.
Semoga kalah-menang dalam pilkada bukan hanya sekedar paham kuantitas tetapi paham akan kualitas. Selamat berkontestasi. (redaksi lensasumbar.com)