Pasaman Barat —
Tragis dan memalukan! Lembaga negara sekelas BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) yang seharusnya jadi penyelamat rakyat, justru diduga menjadi sumber bencana baru bagi kontraktor lokal.
Proyek selesai, serah terima sudah dilakukan, tapi uang tak kunjung dibayar.
Kasus ini terjadi pada proyek Pengendalian Banjir Batang Pasaman dengan nilai kontrak Rp 6 miliar, yang dilaksanakan oleh CV. Cindua Mato Putra Persada. Berdasarkan SPPBJ tertanggal 12 November 2024 dan SPMK tertanggal 14 November 2024, pekerjaan direncanakan 180 hari dengan pembayaran 3 termyn dari Dana Siap Pakai (DSP) BNPB.
Namun ketika kontraktor mengajukan pembayaran pertama pada Februari 2025, alasan murahan muncul: “dananya belum tersedia.”
Padahal dana itu sudah ditetapkan dalam pos anggaran BNPB.
Meski tanpa dana cair, kontraktor tetap melanjutkan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab dan menyelesaikan 100% pekerjaan. Proyek sudah diserahterimakan resmi melalui BAST Nomor 000.3/01/BAST/BPBD/2025 tertanggal 19 Mei 2025.
Tapi hingga kini, sepeser pun belum dibayarkan.
“Kami bekerja siang malam, semua sesuai kontrak dan aturan. Tapi hak kami ditelantarkan. Apakah ini bentuk penghargaan pemerintah terhadap pengusaha lokal?” ujar perwakilan CV. Cindua Mato Putra Persada dengan nada kecewa.
Akibatnya, perusahaan nyaris kolaps. Hutang menumpuk, pemasok menekan, dan para pekerja kecil menanggung derita. Sementara pihak BNPB seperti berlindung di balik meja dan lembar administrasi.
Lebih gila lagi, kasus ini ternyata bukan satu.
Di Pesisir Selatan, 8 proyek BNPB juga bernasib sama: selesai tapi tak dibayar. Bahkan muncul nama Okta, seorang calo proyek yang diduga mengatur pencairan dana dengan imbalan tertentu.
Di Pariaman, 1 proyek juga tak kunjung cair meski sudah selesai.
Kalau benar, ini bukan lagi sekadar kelalaian — ini kejahatan moral dan pengkhianatan terhadap rakyat kecil.
Bagaimana mungkin lembaga sebesar BNPB yang memegang anggaran triliunan untuk “menolong korban bencana,” justru menelantarkan kontraktor kecil yang berjuang dengan keringat dan modal sendiri?
Apakah uang rakyat dipakai untuk proyek, atau untuk kantong pribadi oknum di dalamnya?
BNPB seharusnya jadi benteng kemanusiaan, bukan sarang permainan kotor dan ketidakadilan.
Negara ini akan runtuh jika lembaga penyelamat rakyat justru menindas rakyat.
Para kontraktor hanya menuntut haknya, bukan meminta belas kasihan.
Tapi yang mereka dapat malah kesunyian, alasan berbelit, dan janji tanpa wujud.
Pemerintah pusat, Presiden, dan aparat hukum harus turun tangan.
Jangan biarkan bencana bernama BNPB terus memporakporandakan pengusaha lokal dan mematikan kepercayaan publik.
Jika tidak segera dibersihkan, BNPB bukan lagi Badan Penanggulangan Bencana — tapi Badan Penambah Bencana Bangsa.



