Bukittinggi Butuh Peraturan Daerah Penanggulangan Bunuh Diri
Bukittinggi – Sebagaimana dilansir dari haluanpadang.com, seorang pemuda ditemukan tewas gantung diri dengan kain sprai pintu yang dijadikan seperti tali dikediamannya di di Pulai Anak Air, Kecamatan Mandiangin Koto Selayan, Kota Bukittinggi, Selasa (11/1) sekira pukul 10.00 WIB.
Peristiwa ini dibenarkan oleh Kaur Bin Ops (KBO) Satreskrim Polres Kota Bukittinggi, Iptu Herwin saat dikonfirmasi haluanpadang.com
“Benar, kejadian tersebut terjadi pada pukul 10.00 pagi tadi,” ungkap Iptu Herwin.
Pria tersebut, katanya, berinisial H berusia 25 tahun dan berprofesi sebagai penjual sate di Anak Air.
Di tempat berbeda Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., menyatakan Bukittinggi membutuhkan peraturan daerah tentang penanggulangan bunuh diri. Apalagi harianhaluan.com pernah menyatakan Sumatera Barat adalah provinsi yang bunuh dirinya Kejadian Luar Biasa (KLB). Dan lensasumbar.com mengungkap, kasus bunuh diri ini adalah yang pertama di tahun 2022, yang telah berulang kali terjadi di Bukittinggi. Sebelumnya pada tahun 2021 kemaren kasus bunuh diri di Kota Bukittinggi sudah 2 kali terjadi dalam rentang waktu 1 minggu. Diharapkan dengan adanya Perda penanggulangan kasus bunuh diri di 19 Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat akan tertanggulangi.
“Agar kinerja upaya preventif penanggulangan bunuh diri di Bukittinggi terarah dan ada dasar hukumnya perlu adanya peraturan daerah penanggulangan bunuh diri. Ini bertujuan agar pemerintah terhindar dari mal administrasi yang berakibat bisa terjebak perilaku penanggulangan bunuh diri yang koruptif dan tak efektif,” ujarnya.
Riyan juga menyatakan aturan daerah ini nanti akan jelas peran kecamatan dan kelurahan dalam penanggulangan bunuh diri, jelas juga cara pencegahan bunuh dirinya, bagaimana anggaran kebijakan, strategi dan program penanggulangan bunuh diri.
“Dalam aturan daerah ini nanti akan jelas peran kecamatan dan kelurahan dalam penanggulangan bunuh diri, jelas juga cara pencegahan bunuh dirinya, bagaimana anggaran kebijakan, strategi dan program penanggulangan bunuh diri di Bukittinggi akan jelas. Sehingga jelas juga pertanggungjawabannya,” tambahnya.
Pembentukan peraturan daerah ini merupakan wujud kewenangan yang diberikan kepada pemerintahan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kondisi khusus itu saat ini adalah maraknya kasus bunuh diri di kota Bung Hatta ini.
“Terkait pentingnya peraturan daerah untuk penanggulangan bunuh diri ini merupakan amanat dari UUD Pasal 28 H ayat 1 dan UU Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang memang butuh aturan turunan sebagai pelaksanaa di daerah khususnya Bukittinggi,” katanya.
Karna pemerintah daerah dalam hal ini Bukittinggi perlu memberikan perlindungan kepada seluruh masyarakat dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi orang dengan risiko bunuh diri, penyintas bunuh diri, dan orang yang terdampak peristiwa bunuh diri berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Dan juga karna setiap warga Bukittinggi memiliki hak hidup dan berhak mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan jasmani, kejiwaan, kerohanian, dan sosial yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa, karena pada diri setiap orang melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya untuk mewujudkan kota yang makmur dan sejahtera.
“Jadi, peraturan daerah bisa menjadi salah satu alat dalam melakukan transformasi sosial dalam menanggulangi bunuh diri. Sekaligus peraturan daerah ini juga bertujuan mewujudkan masyarakat daerah yang mampu menjawab perubahan yang cepat dan tantangan pada era milenial dan pandemi covid-19 saat ini. Pada akhirnya dengan adanya aturan akan mewujudkan terciptanya good local governance dalam penanggulangan bunuh diri di Bukittinggi,” ungkap alumni Universitas Indonesia ini.(*)