Jakarta, lensasumbar.com- Sudah puluhan tahun konflik masyarakat provinsi Riau dan Jambi dengan pihak perusahaan pemegang izin konsesi HTI dan HGU tidak terselesaikan oleh pemerintah sebagai pemangku kepentingan di Negara ini, sehingga sering terjadi gesekan antara masyarakat dengan pihak korporat yang tidak bisa terelakkan di lapangan.

 

“Kami masih bertahan di depan kantor Kementerian Kehutanan RI memasang tenda dan menginap, itu karena sampai saat ini belum ada penyelesaian. Kami masyarakat di anggap menduduki kawasan hutan secara tidak sah dengan cara berkebun di dalam areal kerja konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Guna Usaha (HGU)”. ucap Ridwan selaku Ketua Umum Komite Pejuang Pertanian Rakyat (KPPR)

 

Menurut Ridwan yang juga merupakan mantan ketua umum Serikat Tani Riau (STR) hingga saat ini pula pengelolaan tanah kebun masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan pemegang izin areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Guna Usaha (HGU) di dalam kawasan hutan (yang diduga ditetapkan sepihak oleh pemerintah) tidak mendapat pengakuan dan perlindungan akan hak-haknya karena berada dalam kawasan hutan.

 

“Masyarakat di tempatkan pada posisi paling lemah dalam upaya mempertahankan tanah dan hak-haknya atas sumber daya alam, hal ini disebabkan oleh penerapan hukum hanya melihat aspek secara legal formal hak atas penguasaan dan kepemilikan tanah, karena secara umum pertanahan di Indonesia khsusunya dibidang kehutanan masih menghidupkan asas domein verklering (bahkan plus), yakni, sebidang tanah yang tidak dapat dibuktikan hak kepemilikannya adalah tanah negara”. tambah Ridwan

 

Lanjut Ridwan mengatakan bahwa berbeda kenyataan nya jika perusahaan telah mendapatkan izin usaha seperti PT. Rimba Peranap Indah (RPI) yang memiliki areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) maka mereka dapat menguasai dan mengolah tanah. Fasilitas ini diterapkan dengan skema yang tidak adil dan secara langsung merampas tanah rakyat dan hutan Indonesia. Dengan keadaan seperti ini, pembangunan dan perluasan perkebunan kayu akan secara langsung menyeret rakyat pada berbagai masalah agrarian. Salah satunya adalah konflik penguasaan tanah.

 

Memasuki hari 13 para peserta aksi jalan kaki telah sampai ke depan kantor Kementerian Kehutanan, Sabtu (14/12/2024) Petani Riau dan Jambi masih bertahan di depan kantor Kementerian Kehutanan RI memasang tenda dan menginap

 

Kami sangat paham betul bahwa selama ini fasilitasi penyelesaian konflik di KHLK baru dilakukan ketika masyarakat malakukan aksi domontrasi mengetuk pintu KLHK untuk mengambil sikap yang tegas dalam penyelesaian konflik kehutanan dengan sebesar-besarnya mengedepankan kepentingan rakyat. Respon dan fasilitasi KLHK inipun terkesan hanya upaya formalitas untuk meredam aksi-aksi yang dilakukan oleh kaum tani.

 

“Hasil-hasil rapat fasiltasi penyelesaian konflik oleh KLHK dari aksi-aksi petani ini hanya sampai pada kesepakatan bahwa KLHK akan menurunkan TIM kelapangan, setelah masyarakat membubarkan aksi demontrasi terkadang berbulan-bulan belum ada realisasi kepastian kapan TIM dimaksud akan turun kelapangan. Kalaupun ada TIM dari KLHK turun kelapangan, setelah itu tidak ada tindak lanjut fasilitasi oleh KLHK, apalagi sampai pada finalisasi penyelesaian yang mengedepankan kepentingan rakyat”

 

“Dalam penyelesaian konflik agraria (kehutanan/pertanahan), sudah seharusnya pemerintah terlibat penuh dalam pengaturan sumber daya alam yang berpihak dan melindungi kepentingan rakyat untuk memberikan sebesar-besarnya kemakmuran pada rakyat, konflik agraria yang disulut oleh pemerintah harus diselesaikan oleh pemerintah itu sendiri bukannya bersikap netral, apalagi melindungi kepentingan segelintir pemilik modal”. tegas Ridwan

 

Petani Riau dan Jambi ini meminta Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka segera memerintahkan para birokrat (Perencana dan Pengambil Keputusan di bidang kehutanan) di kabinet Merah Putih dalam hal ini Menteri Kehutanan Bapak Raja Juli Antoni mengurangi ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah serta mengurangi sengketa pertanahan dengan menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat dalam penguasaan tanah dan kawasan hutan Indonesia.(Sanusi)

Ikuti kami juga dihalaman Google News

Bagikan: