Bukittinggi – Mencermati Strategic Policy Kepemimpinan NU Baru untuk Memperkuat Kembali Civil Society
Penulis:
Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H.
[Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI), Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi, dan Direktur PT. Media Bukittinggi Agam]
Kita menyambut gembira terpilihnya kepemimpinan PBNU hasil Muktamar ke-34 NU di Provinsi Lampung, 22-24 Desember 2021, KH. Yahya Cholil Staquf terpilih sebagai Ketua Umum PBNU dan KH Miftachul Akhyar jadi Rais Aam. Seperti yang telah kita dengar sebelum kemenangan Gus Yahya, ia akan membawa NU dikepemimpinan yang baru ini dengan strategic policy tidak akan terlibat dalam kontestasi politik, khususnya pada Pilpres 2024, tidak akan ada lagi Capres atau Cawapres dari NU. NU kembali konsisten menjadi penjaga Republik, akan ada penguatan civil society (masyarakat sipil) dan pertumbuhan kelompok kritis.
Penulis meyakini visi Gus Yahya yang nahdiyin mengingikan menguatkan kembali gerakan masyarakat sipil kritis dengan mengacu kepada keberhasilan Gus Dur menghidupkan gelora masyarakat sipil bersama kawan-kawannya saat orde baru sudah melalui perenungan mendalam. Apalagi berbagai data telah terhampar di mana kuatnya konsolidasi oligarki di Indonesia membuat kelompok masyarakat sipil tak berdaya. Kekuatan masyarakat sipil progresif masih bersifat sangat tidak terkoordinasi. NU sepertinya ingin menjadi penggerak utama masyarakat sipil seperti Gus Dur terlibat bersama masyarakat menumbangkan orde baru.
Adanya NU yang ingin menghidupkan gerakan masyarakat sipil ini patut diapresiasi karena ketika masyarakat sudah sadar akan haknya sebagai warga negara, kekuatan pemerintah seperti apa pun akan dilawan jika melakukan tindakan yang menyimpangan dari aturan/inkonstitusional. Sewaktu era Orde Baru, kegiatan penguatan masyarakat menjadi arus utama (mainstream). Pasca-reformasi, hal itu masih ada, tapi tidak sebanyak sebelumnya. Disinilah peran NU menghidupkan kembali kekuatan kritis masyarakat sipil.
Memang sejak muktamar NU 1984 di Situbondo, Jawa Timur, NU menegaskan pentingnya kembali ke khittah 1926. Yaitu, entitas NU sebagai organisasi sosial kemasyarakatan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah). Pilihan kembali ke khittah merupakan langkah strategis, karena NU hadir untuk melakukan pemberdayaan warga dan umat, bukan untuk meraih kekuasaan politik praktis.
Salah satu prestasi yang menonjol dari peran NU sebagai jangkar masyarakat sipil, yaitu tumbangnya rezim Orde Baru. NU menjadi salah satu organisasi sosial kemasyarakatan yang memainkan peran masyarakat sipil.
Lebih dari itu, deklarasi kembali ke khittah menjadikan NU mampu melakukan konsolidasi organisasi, kaderisasi, dan pembaruan pemikiran keislaman. Gus Dur sebagai ikon kembali ke khittah telah berhasil menjadikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang kokoh secara pemikiran, kaderisasi, dan peran-peran kontrol terhadap negara. Bahkan, hal tersebut berujung pada sebuah prestasi yang sangat menggemparkan jagat politik nasional, yaitu terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia. Inilah bukti NU akan lebih besar jika berdiri bersama masyarakat sipil tidak terjebak politik praktis yang beragenda semu. Penulis kira, siapapun akan besar jika bergerak bersama masyarakat sipil dan kelompok kritis. Serta kita melihat keinginan NU yang ingin lebih besar dari sekarang ini dengan memperkuat masyarakat sipil terlebih dahulu, sebagaimana hal yang pernah dilakukan Gus Dur terdahulu saat menumbangkan orde baru.
Maka dari itu, pilihan kembali ke khittah membersamai tumbuhnya masyarakat sipil yang kritis merupakan pilihan yang tepat dan memberikan dampak yang luar biasa bagi kemajuan NU serta peran NU dalam melakukan transformasi demokrasi di negeri ini. Konsekuensinya, NU selalu menjadi “referensi utama” bagi negara dan publik di saat-saat genting. Di sinilah NU hadir sebagai kekuatan penting di republik ini.
Selain itu tentu ke depan kepada kepemimpinan NU yang baru kita juga terus berharap agar terus memperkuat trilogi ukhuwah hasil Muktamar NU 1984 di Situbondo, yaitu persaudaraan keislaman (ukhuwah islamiyyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyyah). Masyarakat sipil akan semakin kuat jika diperkuat dengan trilogi ukhuwah hasil Muktamar NU 1984.(*)