Foto : Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H.
Bukittinggi – Mengkritisi Visi Hukum Pemko Bukittinggi setelah Sosialisasi Perda Nomor 4 Tahun 2021 tentang RPJMD 2021-2026
Oleh : Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H. [Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Bukittinggi]
Kita sama-sama telah mengetahui bahwa Perda Kota Bukittinggi Nomor 4 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2021-2026, telah disosialisasikan pada Selasa (14/12/2021). Kegiatan yang dihadiri Wali Kota Bukittinggi, H. Erman Safar tersebut dilaksanakan di Auditorium Perpustakaan Bung Hatta, Bukittinggi. Sebagai pemateri hadir Kepala Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan (Bapelitbang), Rismal Hadi. Kegiatan tersebut juga dihadiri Anggota Forkopimda, Kepala SKPD, Camat, Lurah se-Bukittinggi, Ketua LPM, Pimpinan Instansi Perguruan Tinggi, Kepala Sekolah, Kepala BUMN Kota Bukittinggi. Selanjutnya, Pimpinan Perbankan se-Bukittinggi, Ketua LSM dan Paguyuban dan para pemuka adat Kota Bukittinggi.
Wali Kota Bukittinggi mengatakan, untuk kondisi tahun pertama, dalam perwujudan visi dan misi Pemko Bukittinggi, perlu adanya pemantapan terhadap setiap langkah yang akan dieksekusi. Hal tersebut tidak terlepas darimemprioritaskan kebijakan untuk masyarakat Kota Bukittinggi. Ia menyebutkan, sekitar 30 persen anggaran kota telah dipakai selama menghadapi pandemi Covid-19. Di sisi lain, angka kemiskinan juga sudah hampir mencapai 25 persen di Kota Bukittinggi.
Walikota juga menuturkan akan menghentikan sementara kegiatan sosialisasi serta bimtek, dan juga tidak akan banyak pembangunan di 2022 mendetang. Dana tersebut akan dialihkan untuk kegiatan yang lebih prioritas untuk pemulihan ekonomi dan kesehatan rakyat.
Terkait prioritas kesehatan rakyat jika kita lihat kembali Perda Kota Bukittinggi Nomor 4 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2021-2026, telah disosialisasikan pada Selasa (14/12/2021) kemarin tersebut. Meskipun pemerintah Kota Bukittinggi telah memprioritaskan pembangunan kesehatan pada RPJMD Tahun 2016-2021, namun capaian indikator tujuan pembangunan kerkelanjutan terkait gizi baita dan ibu hamil masih menunjukkan hasil yang belum maksimal. Hal tersebut terlihat dari masih tingginya angka prevalensi kekurangan gizi (underweight), prevalensi stunting, prevalensi malnutrisi (berat badan/tinggi badan) anak pada usia kurang dari 5 (lima) tahun, dan prevalensi anemia pada ibu hamil. Pada tahun 2017, terdapat 416 balita menderita kekurangan gizi dari total 5.300 balita di Kota Bukittinggi yang berarti preverensi kekurangan gizi pada balita mencapai angka 7,85 persen. Berdasarkan data tersebut dapat diartikan bahwa terdapat 8 anak balita kekurangan gizi dari setiap 100 orang anak balita di Kota Bukittinggi. Prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita ini mengalami peningkatan tahun 2018 menjadi 8,81 persen dan meningkat kembali pada tahun 2019 menjadi 9,79 persen. Ini berarti bahwa terdapat 10 anak balita mengalami kekurangan gizi pada setiap 100 anak balita di Kota Bukittinggi pada tahun 2019.
Pada kesempatan tersebut, juga disampaikan tiga batasan kebijakan anggaran, yaitu; harus dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok; seluruh kegiatan harus dapat memulihkan perekonomian; dan menekan pertumbuhan Covid-19.
Beberapa kebutuhan pokok kota yang dapat kita sorot dalam Perda Kota Bukittinggi Nomor 4 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2021-2026 adalah terkait jumlah mobil pemadam kebakaran yang ada di Kota Bukittinggi per tahun 2020 masih tetap 6 unit artinya tidak ada penambahan mobil pemadaman kebakaran dari tahun 2016. Berdasarkan standar International Fire Chiefs Association of Asia (IFCAA) yang menetapkan bahwa setiap 10.000 penduduk dilayani 1 (satu) unit mobil ( telah sesuai dengan standar yg dipedomani oleh Damkar ). Jika Penduduk Kota Bukittinggi pada tahun 2020 adalah sebanyak 121.028 jiwa, maka idealnya Kota Bukittinggi memiliki 12 unit mobil pemadam kebakaran. Ini menyangkut dengan rawannya masalah kebakaran di Kota Bukittinggi.
Pendidikan menurut penulis rasa juga merupakan kebutuhan pokok, yang di mana salah satu faktor pemenuhan kebutuhan pendidikan itu adalah perpustakaan. Jika kita lihat laporan Perda Kota Bukittinggi Nomor 4 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2021-2026, telah disosialisasikan pada Selasa (14/12/2021) kemarin itu tentang Perpustakaan Umum Daerah masih dalam kondisi keterbatasan, yaitu keterbatasan koleksi dan keterbatasan sarana dan prasarana, yaitu belum adanya gedung yang representatif untuk sebuah perpustakaan daerah.
Belum lagi terkait dengan persoalan hukum, pandemi Covid-19 masih membelenggu Bukittinggi dan Indonesia, tak sedikit tindak pidana terjadi dan bahkan meningkat, seperti pencurian, tindak pidana korupsi, ujaran kebencian, penyebaran berita bohong, hingga pelanggaran protokol kesehatan. Ini diperkuat dengan Sosiolog Universitas Nasional (Unas), Sigit Rochadi menyebut Pandemi Covid-19 mengakibatkan angka kemiskinan meningkat. Akibatnya jumlah kemiskinan meningkat, tingkat kriminalitas juga mengalami peningkatan. Apalagi Walikota Bukittinggi saat sosialisasi Perda Kota Bukittinggi Nomor 4 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2021-2026 menyebut angka kemiskinan Kota Bung Hatta juga sudah hampir mencapai 25 persen di Kota Bukittinggi. Ini bisa kita lihat dari Data BPS Kota Bukittinggi yang terdapat dalam Tabel 2.21 tentang Penduduk Miskin Kota Bukittinggi Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) cenderung meningkat. Hal ini dapat diartikan bahwa secara umum rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin jauh dari garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin cenderung semakin lebar. Di tengah meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia, secara otomatis juga meningkatkan angka kriminalitas di Indonesia. Oleh karena itu kita butuh suatu visi hukum untuk perbaikan kota ke depan.
Hukum adalah suatu tata aturan kehidupan yang diciptakan untuk mencapai nilai-nilai yang diinginkan masyarakat. Salah satu nilai yang menjadi tujuan hukum adalah ketertiban. Ketertiban artinya ada kepatuhan dan ketaatan perilaku dalam menjalankan apa yang dilarang dan diperintahkan hukum. Konkretnya, dapat kita ambil contoh sederhana dalam tata aturan berlalu lintas. Hukum atau perangkat aturan yang dibuat dalam bidang lalu lintas mempunyai tujuan agar terjadi tertib dalam kegiatan berlalu-lintas. Hal ini juga dalam upaya melindungi kepentingan dan hak-hak orang lain.
Apalagi dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 jelas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam penjelasannya (pra-amandemen konstitusi), dijabarkan bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasar kekuasaan belaka (machstaat). Sebelum pandemi, kita bisa dengan bangga mengucapkan Fiat Justitia Ruat Caelum (tegakkan keadilan walaupun langit runtuh). Kenyataannya, menegakkan keadilan tidak semudah dalam pepatah. Langit masih belum runtuh, kita sudah mulai tergoda untuk sementara mengesampingkan hukum dan hak asasi manusia dengan alasan pandemi.
Diperkuat pula oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengeluarkan suatu policy brief mengenai Covid-19 dan Hak Asasi Manusia yang menekankan bahwa: “… This is not a time to neglect human rights; it is a time when, more than ever, human rights are needed to navigate this crisis in a way that will allow us, as soon as possible, to focus again on achieving equitable sustainable development and sustaining peace”.
Pandemi jelas tidak bisa jadi alasan untuk meminggirkan prinsip-prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Menyikapi pokok-pokok pikiran dari kertas kebijakan PBB itu, publik perlu terus megawasi dan mengingatkan pengambil kebijakan di negaranya, agar tidak mengambil langkah yang justru merugikan hak asasi manusia dengan alasan pandemi.
Apalagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Standar pelayanan minimal adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berhak diperoleh setiap warga Negara secara minimal dan hukum termasuk dalam kebutuhan minimal tersebut sebagai aspek ketertiban umum dan perlindungan masyarakat. Pelayanan dasar tersebut merupakan urusan wajib pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagai urusan konkuren meliputi: a. Urusan Wajib Pendidikan; b. Urusan Wajib Kesehatan; c. Urusan Wajib Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; d. Urusan Wajib Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman; e. Urusan Wajib Sosial, dan f. Urusan Wajib Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Pelindungan masyarakat.
Jika kita lihat penjelasan di dalam Perda Kota Bukittinggi Nomor 4 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2021-2026, sesuai dengan dokumen RPJMD Provinsi Sumatera Barat, permasalahan hukum dalam pembangunan banyak yang masih harus dihadapi Sumatera Barat dan harus mendapat perhatian, diantaranya adalah: Pertama, Pola hubungan yang tidak integratif dan sinergis antara pemerintahan nagari, pemerintahan desa, lembaga adat yang dikelola oleh lembaga (Kerapatan Adat Nagari (KAN), lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) dan lembaga lainnya dalam nagari, Kedua, Tanah ulayat memerlukan penyelesaian hukum dengan kebijakan tersendiri untuk merumuskannya secara komprehensif dalam peraturan daerah serta optimalisasi pemanfaatan tanah ulayat, Keempat, Pembentukan produk hukum daerah yang belum aspiratif, partisipatif yang sinergi dengan hukum Nasional yang memberikan perlindungan HAM, 2) Penyebarluasan dan sosialisasi produk hukum daerah dan nasional pada kalangan birokrat dan masyarakat masih sangat terbatas, sehingga berpengaruh pada kesadaran hukum, 3) Belum optimalnya pembinaan dan pengawasan terhadap produk hukum daerah yang dibentuk oleh Kabupaten dan Kota dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan pembangunan di Sumatera Barat, dan 4) Belum optimalnya pelaksanaan dan penegakan produk hukum daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan, Kelima, Memudarnya wawasan kebangsaan di berbagai kalangan, khususnya generasi muda akibat pendidikan dan penanaman semangat kebangsaan yang sudah tidak sesuai, Keenam, Masih tingginya kriminalitas, kenakalan remaja, peredaran dan penyalahgunaan narkoba, dan Ketujuh, Belum optimal mengatasi pemuda yang berperilaku menyimpang dan beresiko.
Adapun salah satu solusi menghadapi permasalahan hukum tersebut adalah dengan dengan mewujudkan Perda Bantuan Hukum di Bukittinggi. Penyelenggaran bantuan hukum yang diberikan kepada penerima bantuan hukum merupakan upaya untuk mewujudkan hak – hak konstitusi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hakl warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan dan kesamaan di hadapan hukum.
Penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri yang menghadapi masalah hukum. Bantuan hukum bagi masyarakat miskin dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, persamaan, kedudukan dalam hukum, perlindungan terhadap hak asasi manusia, keterbukaan, efisiensi, efektifitas, dan akuntabilitas.
Selain itu, penyelenggaraan bantuan hukum bagi masyarakat miskin bertujuan untuk menjamin dan memenuhi hak penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan; mewujudkan hak konstitusional warga negara sesuai dengan prinsip persaan kedudukan di dalam hukum; menjamin kepastian penyelenggara bantuan hukum dilaksanakan secara merata; mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dipertanggung jawabkan; dan terpenuhinya hak masyarakat miskin dalam memperoleh kjeadilan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan adanya peraturan daerah tentang penyelenggaran bantuan hukum diharapkan masyarakat miskin di Bukittinggi yang mencari keadilan dan kesetaraan dimuka hukum dapat terpenuhi hak-haknya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia Tahun 1945 dan juga aturan turunan dibawahnya seperti amanat Pasal 19 UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum kepada Pemerintah Daerah bahwa diperlukan pengaturan mengenai bantuan hukum bagi masyarakat miskin.(*)