Sebuah Jawaban Mengapa Demo Demi Demo Terjadi di Bukittinggi
Oleh : Riyan Permana Putra, SH, MH
(Pengacara Syarikat Pedagang dan Pemilik Toko Jalan Minangkabau, Kandidat Doktor UIN Imam Bonjol Padang)

Sebagaimana dilaporkan Antara Sumbar pada Selasa, (1/11/2022) Ratusan pedagang menggelar aksi unjuk rasa (demo) menolak kebijakan Pemerintah Kota Bukittinggi yang menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang pengelolaan pasar di daerah setempat. Kami pedagang Aur Kuning Bukittinggi menuntut janji walikota. Kami seluruh pedagang pasar di Bukittinggi menolak Perda Pasal 15 poin 4 karena akan memiskinkan seluruh pedagang. Kembalikan fungsi kartu kuning seperti semula bisa dialihkan dan diagunkan. Inilah janji walikota, bunyi beberapa tulisan dalam spanduk menurut laporan Antara Sumbar.

Sebelumnya ada juga kejadian demo lainnya, yaitu Para pedagang di Jalan Minangkabau Pasar Atas Kota Bukittinggi, Sumatera Barat (Sumbar), menggelar aksi demo menolak rencana pembangunan awning atau atap penutup jalanan di lokasi mereka berdagang, Jumat (30/9/2022). Koordinator Aksi, Muhammad Fadhli menegaskan, seratus persen pedagang menyatakan penolakan dan akan memperjuangkannya melalui jalur yang ada.

Belajar dari demo ke demo yang ada di Bukittinggi kita melihat jawaban dari pertanyaan mengapa demo demi demo terjadi di Bukittinggi, titik sentral permasalahan ada pada partisipasi masyarakat. Baik itu partisipasi masyarakat saat membuat aturan dan pembangunan. Partisipasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan peran serta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan sehingga berujung dengan demo demi demo yang terjadi di Bukittinggi. Dan sangat jelas dengan mengedepankan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pembuatan aturan di Kota Bung Hatta akan meminimalisir konflik pemerintah kota dengan masyarakat, sehingga pembangunan akan bergerak stabil menuju visi Bukittinggi yang diinginkan bersama.

Dalam konsep demokrasi, asas keterbukaan atau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum, sebagaimana dikemukakan oleh Burkens dalam buku yang berjudul “Beginselen van de democratische rechsstaat.” Paham demokrasi atau kedaulatan rakyat mengandung makna, pemerintahan negara tetap di bawah kontrol masyarakat. Kontrol ini melalui dua sarana: secara langsung melalui pemilihan para wakil rakyat dan secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity) pengambilan keputusan.

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan aturan itu diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diatur pada Bab XI pasal 96 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undangundang dan rancangan peraturan daerah. Penjelasan Pasal 96 itu menjelaskan bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Senada dengan hal tersebut, dalam pasal 139 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah juga terdapat ketentuan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda. Penjelasan Pasal 139 (1) tersebut menjelaskan bahwa hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.

Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda merupakan hak masyarakat, yang dapat dilakukan baik dalam tahap penyiapan maupun tahap pembahasan. Dalam konteks hak asasi manusia, setiap hak pada masyarakat menimbulkan kewajiban pada pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban Pemerintahan Daerah untuk memenuhi hak atas partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda tersebut.

Lalu terkait partisipasi masyarakat dalam pembangunan bisa kita lihat dalam Pasal 354 ayat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan partisipasi masyarakat mencakup: a. penyusunan Perda dan kebijakan Daerah yang mengatur dan membebani masyarakat dan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemonitoran, dan pengevaluasian pembangunan Daerah.

Partisipasi masyarakat di Minangkabau sangat senada pula dengan prinsip good governance yang harus dilaksanakan pemerintah daerah yang dapat kita temui pada masyarakat Minangkabau khususnya pada kelarasan Koto Piliang adalah “bajanjang naiak, batanggo turun.” Yang mana di minangkabau berlaku prinsip musyawarah, dalam mencapai suatu kesepakatan. Musyawarah diperlukan karena kebenaran bukan datang dari individu melainkan kumpulan dari individu dalam sebuah kelompok sesuai dengan pepatah. “kemenakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, nan bana badiri sandirinyo artinya (kemanakan baraja kepada mamak, mamak baraja kepada penghulu, penghulu beraja kepada musyawarah, musyawarah baraja kepada yang benar, yang benar berdiri sendiri).

Keputusan yang telah melalui tahap musyawarah untuk memperoleh mufakat adalah kebenaran yang sebenar-benarnya. Keputusan itu adalah keputusan yang bulat dan di dukung penuh oleh semua individu yang turut dalam musyawarah. Musyawarah salah satu elemen demokrasi modern sudah lama membudaya ddalam masyarakat minang. Kita bisa saksikan sampai hari ini di setiap nagari atau desa-desa addda balai balai sebagai tempat musyawarrah ninik mamak pemanku adat. Ini juga tergambar dari pepatah adatnya “bulek aje dek buluah, bulek katu dek mupakek”. Bulek lah bisa digolongkan pcaklah bisa dilayangkan artinya sudah ada kesepakatan yang akan dilaksanakan. Kita berharap prinsip ini juga selalu ada dan hadir di Kota Bung Hatta, agar tak ada lagi demo demi demo di Bukittinggi.Wallahualam Bissawab.(*)

Ikuti kami juga dihalaman Google News

Bagikan: