
Selamat Peletakan Batu Pertama ITB HAS, Lanjutkan Perjuangan Haji Agus Salim
Bukittinggi – Selamat Peletakan Batu Pertama ITB HAS, Lanjutkan Perjuangan Haji Agus Salim
Oleh : Dr (cand). Riyan Permana Putra [Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi]
Alhamdulillah pada hari ini Senin, (20/12/2021) telah dilaksanakan peletakan batu pertama pembangunan Kampus Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Haji Agus Salim (HAS) tak jauh dari domisili penulis di Campago Guguak Bulek, Kelurahan berpretasi kedua se-Sumatera Barat, Kecamatan Mandiangin Koto Selayan, Bukittinggi. Pengembangan sarana pendidikan ini sangat mendukung cita-cita luhur kemerdekaan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa, yang seolah masih jauh dari ideal. Masih banyak anak bangsa yang belum dapat mencicipi pendidikan dengan layak. Di mana jumlah penduduk Indonesia, menduduki posisi keempat terbesar di dunia. Namun, dari jumlah yang besar ini hanya 8,5 persen berhasil lulus pendidikan tinggi, berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Padahal, konstitusi telah menjamin hak setiap warga negara untuk mendapat pendidikan sebagaimana termaktub pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28C.
Begitu juga pendidikan pada masa Haji Agus Salim yang merupakan pahlawan pertama yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata ini belumlah mencapai makna adil bagi kalangan para pelajar pribumi. Pada masa itu juga, pendidikan hanya digunakan sebagai alat kepentingan bagi pemerintah kolonial untuk menciptakan buruh ataupun karyawan dengan upah yang murah. Namun kepedulian Haji Agus Salim dan istrinya dalam bidang pendidikan dapat kita contoh, ia memberi pelajaran kepada anak-anaknya sejak mereka dilahirkan. Haji Agus Salim memberikan teladan kepada anak-anak muda Bukittinggi dengan pernah meraih prestasi sebagai lulusan terbaik Hogere Buger School (HBS) tahun 1903 di tiga kota besar, yakni Batavia, Semarang, dan Surabaya. Namun harapan Agus Salim mendapatkan beasiswa sekolah kedokteran di Belanda yang sangat diminatinya kandas. Hanya karena ia seorang pribumi. Selain bergerak di jalur politik, Agus Salim juga seorang jurnalis. Ia antara lain sempat berkiprah bersama Harian Neratja, Hindia Baroe, dan mendirikan surat kabar Fadjar Asia.
Setidak-tidaknya Haji Agus Salim mampu berbicara dalam sembilan bahasa. Haji Agus Salim terlahir dalam lingkungan keluarganya berada dan ia sempat lama memiliki pekerjaan bergaji besar yang bisa menyenangkan keluarganya secara materi. Ia baru hidup seadanya setelah terlibat dalam perjuangan bangsa yang bersama HOS Tjokroaminoto, saat ia ditugasi sebagai intel politik oleh Belanda, yang mana pada waktu itu HOS Tjokroaminoto di tahun 1912 mengubah Syarikat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam (SI). Urusannya tidak hanya ekonomi, melainkan sosial dan politik. Perkembangannya sangat pesat karena yang dirangkul bukan cuma para pedagang lagi, melainkan semua elemen masyarakat pribumi termasuk kalangan yang semula tak dilirik organisasi mana pun, yakni kaum tani dan buruh yang jumlahnya sangat banyak.
Haji Agus Salim menerima tawaran sebagai intelijen politik Belanda itu karena diberitakan Tjokroaminoto berniat menjual Sarekat Islam kepada Jerman yang akan membiayainya untuk melakukan pemberontakan di Jawa. Jika itu benar, maka ia akan menyeret Hindia Belanda ke dalam pertikaian antara negara-negara besar dunia. Alasan kedua, ia sudah rindu tanah air. Dengan cara-cara tidak langsung, mula-mula ia mempelajari seluk beluk Sarekat Islam baik mengenai asas, tujuan, anggaran dasar, anggaran rumah tangga sampai sikap para pemimpinnya. Kesimpulan penyelidikannya, tuduhan terhadap Tjokroaminoto dan SI tidak terbukti sama sekali. Ia melihat sosok Tjokroaminoto merupakan seorang pemimpin yang sejati. Haji Agus Salim justru terpikat dengan sosok Tjokroaminoto sehingga memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai agen intelijen dan pegawai Pemerintah Hindia Belanda. Ia masuk ke dalam organisasi Sarekat Islam.
Ketika Haji Agus Salim menyatakan bergabung dengan Sarekat Islam, di saat itu pula secara bertahap Salim mulai menjalani kehidupan ekonomi yang serba terbatas. Perubahan drastis gaya hidup diterima secara biasa saja oleh Salim. Yang mana dahulu tinggal di tempat serba bagus selanjutnya di kontrakan kumuh dan becek. Ini karena ingin hidup merdeka, bebas dan idealis. Haji Agus Salim sejak saat berjuang bersama Tjokroaminoto sering tak mempunyai pendapatan tetap, karena itu dompetnya lebih sering kosong daripada berisi. Akibatnya ia kerap berpindah-pindah rumah, dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya. “Leiden is Lijden” sebut Haji Agus Salim yang berarti “memimpin adalah menderita”. Perpaduan kedua kata ini kemudian menjadi pepatah yang menggambarkan keikhlasan para pemimpin untuk rela menderita demi rakyat yang dipimpinnya.
Jika Tan Malaka hidup dari penjara ke penjara, maka Agus Salim hidup berpindah dari rumah tidak layak ke rumah jauh dari layak lainnya. Filosofi memimpin dengan manajemen ala “Leiden is Lijden” ini memang terasa berat untuk dijalankan, karena mengandung “keharusan yang merisaukan”, terutama bagi mereka yang memandang kempemipinan sebagai kekuasaan atau jalan kemakmuran—“memimpin adalah sejahtera”. Tak heran, di zaman ketika pemimpin sudah dilihat sebagai sebuah profesi seperti saat ini, hampir tak ada pemimpin yang rela menderita. Suatu hal yang berbeda di era millenial kekinian. Suatu fakta yang ironis karena paradigma moderen melihat kepemimpinan seperti barang seksi. Orang rela mengorbankan harga diri untuk merebut kursi kekuasaan. Jika pun mereka sempat mengeluarkan uang miliaran, itu tak bertujuan membahagiakan rakyat. Setelah kursi kekuasaan diduduki, rakyatlah yang akan membayar mahal melalui pajak, sambil tetap menjalani hidup penuh derita. Para pemimpin yang melihat keuasaan sebagai jalan kemakmuran itu rela korupsi, meski harus masuk penjara.
Sekarang setelah peletakan batu pertama ITB HAS ini dilakukan Wakil Walikota Bukittinggi, Dewan Pembina Yayasan Indonesia Raya Bukittinggi, serta pihak ITB HAS. Kita mengucapkan selamat kepada ITB HAS hari ini dilakukan peletakan batu pertama gedung baru. Disini kita harus mengingatkan pentingnya peranan pemerintah daerah sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan otonomi pendidikan di suatu daerah, hal ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta dikuatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bidang pendidikan bagi Bukittinggi dari zaman kolonial telah ditetapkan menjadi potensi unggulan daerah Kota Bukittinggi, juga sejalan dengan fungsi dan kondisi alamiah Kota Bukittinggi dengan udaranya yang sejuk akan sangat mendukung bagi penyelenggaraan pendidikan. Sejak dari zaman Belanda, Kota Bukittinggi dan sekitarnya dijadikan sebagai tempat pendirian pusat-pusat pendidikan. Kita kenal dengan sekolah raja, Fakultas Kedokteran Pertama, Sekolah Mosvia, Kweek School, Mulo, Sekolah Tata Praja (APDN), HIS dan Ambach shcool. Dan pada Zaman awal kemerdekaan berdiri sekolah Polwan dan kadet serta Pamong Paraja yang pertama di Indonesia, bahkan Universitas Andalas yang saat ini berada di Padang, sebelumnya berada di Bukittinggi.
Jika kita lihat kembali sejarah, pendidikan memang penting untuk kemajuan suatu negara ataupun kota, yaitu pada awal abad ke-20, ada sejumlah perubahan penting dalam kebijakan pemerintah kolonial yang dikenal dengan “Politik Etis” yang dicetuskan oleh Ratu Wilhelmina dalam pidatonya pada tahun 1901 atas desakan parlemen yang disponsori oleh Conrad Theodore van Deventer. Pelaksanaan politik etis ini berpedoman pada tiga prinsip yaitu irigasi, migrasi dan edukasi. Dari Ketiga prinsip tersebut, politik etis bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran penduduk pribumi dengan memberikan pendidikan seluas mungkin.
Adanya ikut campur pemerintah daerah yang bekerja sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan dapat berpengaruh baik bagi peningkatan kualitas pendidikan masyarakat daerah. Walau memang pengaturan pendidikan tinggi memang ada pada pemerintah pusat. Peran pemerintah daerah dalam pengembangan pendidikan tinggi berupa pemberian sumber daya terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi dapat berperan menunjang upaya pemerintah daerah dalam pengembangan berbagai sektor pembangunan daerah, terutama sektor-sektor ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam hal ini, tentunya dengan memperhatikan prioritas kebutuhan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Pada sisi lain, pemerintah daerah dapat berperan menunjang pengembangan pendidikan tinggi, khususnya kegiatan perguruan tinggi dibidang penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi dan pemerintah daerah harus berperan secara proaktif dan partisipatif untuk menciptakan sinergi dalam mengurangi kesenjangan antar wilayah terutama kesenjangan dalam hal kualitas pendidikan masyarakat dan kesenjangan pembangunan daerah. Perguruan tinggi di Bukittinggi khususnya ITB HAS sangat diharapkan menjadi laboratorium dalam membentuk dan mengembangkan masyarakat Bukittinggi menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) unggul dan melanjutkan perjuangan Haji Agus Salim.
Memperbaiki kualitas pendidikan butuh solusi lebih dari banyak pihak, baik swasta, masyarakat dan pemerintah daerah. Semakin banyak pihak yang bersinergi, akan semakin besar pula dampaknya bagi masa depan dunia pendidikan di Bukittinggi. Dan sosok Haji Agus Salim yang menjadi ikon ITB HAS telah mengajarkan kepada kita semua, bagaimana seharusnya memimpin. Memimpin dengan jiwa “Leiden is Lijden” memang masih sulit kita temukan pada pemimpin saat ini, walau bukan tidak mungkin. Karena itu harus kita cari, sembari belajar juga untuk menjadi pemimpin, minimal dimulai dari diri sendiri. Salah satunya dengan menempa diri dengan mengenyam pendidikan bersama ITB Haji Agus Salim untuk sebuah visi besar melanjutkan perjuangan Haji Agus Salim. (*)