(Sebuah Refleksi)
Sebagaimana kita ketahui pada Tahun 2023 yang lalu Pemerintah melalui hak inisiatif dari DPR RI telah berhasil merampungkan sebuah Undang-Undang Cipta Kerja di Bidang Kesehatan, yang lebih kita kenal dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023, tentang Kesehatan. Dimana dengan lahirnya undang-undang ini telah menganulir atau membatalkan 13 (Tiga belas) undang undang yang sebelumnya berlaku dilingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tentu dengan upaya penyatuan undang undang ini, sudah barang tentu akan ada beberapa permasalahan atau program yang belum tertampung, dan disisi lain mungkin ada pula yang tumpang tindih dengan peraturan perundang undangan yang ada dan masih berlaku di Pemerintahan Indonesia.
Selanjutnya, bahwa pemerintah khususnya Kementerian Kesehatan RI juga memandang perlu mengatur masalah Uji Kompetensi bagi Peserta Didik (Mahasiswa) pada Pendidikan Program Vokasi, Program Profesi, (UU. No. 17 Tahun 2023 Pasal 213) dan Program spesialis baik tenaga Medis maupun Tenaga Kesehatan (UU. No. 17 Tahun 2023 Pasal 220), dengan filosofi tamatan Pendidikan Kesehatan tersebut akan bekerja melakukan pelayanan dilingkungan Kementerian Kesehatan yang menyangkut dengan nyawa manusia, maka untuk menjamin kualitas semua tenaga yang bekerja dilingkungan Kementerian Kesehatan dan dipandang perlu mengatur masalah Sertifikasi Kompetensi/Uji Kompetensi bagi mahasiswa bidang Medis dan Tenaga Kesehatan, antara lain berbunyi bahwa dalam rangka menilai pencapaian standar kompetensi tenaga medis dan tenaga Kesehatan Mahasiswa pada program Vokasi dan program Profesi harus mengikuti uji kompetensi secara nasional, dan dalam rangka menilai standar kompetensi tenaga medis dan tenaga Kesehatan spesialis/subspesialis, peserta didik harus mengikuti Uji Kompetensi Berstandar Nasional, selanjutnya Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud ayat (1) diselenggarakan oleh Penyelenggara Pendidikan Bekerjasama dengan Koligium, serta Setifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud ayat (4) diterbitkan oleh Koligium.
Kemudian kalau kita berpedoman kepada Undang Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Azas Umum Pemerintahan yang Baik) telah mengatur pembagian kewenangan secara tegas tidak saja kekuasaan Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif juga mengatur pembagian kewenangan masing masing Lembaga yang ada di Eksekutif/Pemerintah, seperti kewenangan Kementerian Pendidikan yang mengatur para peserta didik dalam rangka mencerdaskan anak bangsa sebagai amanat dari Undang Undang Dasar RI Pasal 31 khususnya ayat (3) bahwa Pemerintah dalam rangka mencerdaskan anak bangsa mengupayakan membuat Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam bentuk undang undang, maka dengan itu Pemerintah telah menetapkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, yang juga mengatur secara tegas tentang Sertifikasi ini, sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 61 ayat (1), (2) dan (3) yaitu: ayat (1) bahwa Sertifikat berbentuk ijazah dan Sertifikat Kompetensi, ayat (2) ijazah diberikan oleh Perguruan Tinggi kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan. Setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh Satuan Pendidikan yang Terakreditasi, dan ayat (3) Sertifikat Kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat, sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus Uji Kompetensi yang diselenggarakan oleh Satuan Pendidikan yang terakreditasi atau Lembaga Sertifikasi. Berarti kewenangan menyelenggarakan uji kompetensi serta menerbitkan Sertifikat Kompetensi merupakan Kewenangan yang bersifat Atribusi kepada Perguruan Tinggi/Pimpinan Perguruan Tinggi yang tidak dapat didelegasikan lagi (UU. No. 30 Tahun 2014 pasal 12).
Setelah membaca uraian diatas maka kami Perguruan Tinggi Bidang Kesehatan Indonesia sesungguhnya berkomitmen dan siap sepenuhnya untuk menyelenggarakan Uji Kompetensi sebagaimana perintah undang-undang tersebut diatas, dan kami siap juga untuk bekerja sama dengan Koligium yang dibentuk Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, selanjutnya kami memandang perlu diatur BENTUK KERJA SAMA dua Lembaga dimaksud sesuai dengan kewenangan masing masing, sebagaimana telah diatur oleh peraturan perundang undangan yang berlaku dan jangan sampai terjadi PENGAMBILAN PAKSA KEWENANGAN tersebut seperti diselenggarakan oleh Koligium bekerja sama dengan Perguruan Tinggi. Karena Koligium bukanlah Lembaga Pemerintah melainkan kelompok ilmiah di lingkup Profesinya yang terdiri dari pada ahli dan Guru besar di profesinya, dengan Peran; 1. Menyusun Kompetensi Kerja Profesinya dan disyahkan oleh Menteri, 2. Menyusun kurikulum pelatihan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan (UU No. 17 Th.2023 Pasal 272).
Berikutnya perlu kita pahami bersama sesungguhnya Perguruan Tinggi telah menjalankan fungsinya sebagai Penyelenggara Pendidikan dengan membangun Kompetensi Peserta didiknya masing masing, semenjak mereka diterima di Perguruan Tinggi dan terdaftar di Pangkalan Data Perguruan Tinggi Dirjen Dikti, dengan berpedoman kepada Standar Kompetensi Profesi yang disusun oleh Koligium Profesi masing masing, yang selanjutnya Perguruan Tinggi menuangkan dalam bentuk Standar Kompetensi Lulusan dan Capaian Pembelajaran di Perguruan Tinggi masing masing. Seyogyanya Perguruan Tinggilah yang berkewajiban memastikan kompetensi peserta didiknya dengan menyelenggarakan Uji Kompetensi tersebut.
Tetapi diakhir- akhir ini ada kecendrungan Pengambil alihan paksa fungsi dan kewenangan tersebut dari Perguruan Tinggi, baik dengan cara Dirjen Dikti membentuk Komite Nasional Uji Kompetensi bagi mahasiswa bidang Kesehatan, sehingga penyelengaraan Uji Kompetensi mahasiswa ditarik keluar dari Perguruan Tinggi dan dialihkan kepada Komite tersebut diatas, sehingga berdampak sulitnya mahasiswa yang dinyatakan belum lulus untuk mengikuti Ujian Kompetensi Ulang (Reteker), yang berdampak mereka tidak dapat mencari pekerjaan walaupun telah lulus di semua mata kuliah yang diwajibkan pada program tersebut, dan dengan lahirnya UU No. 17 Tahun 2023 beserta turunannya sebagai petunjuk pelaksanaannya, ditengarai juga akan diambil alih oleh Koligium sebagaimana yang kami khawatirkan diatas.
Tentu timbul sebuah pertanyaan kenapa terjadi pengambil-alihan kewenangan tersebut dari Perguruan Tinggi Kesehatan di Indonesia, katanya demi mengendalikan mutu atau kompetensi kerjanya lulusan perguruan Tinggi Kesehatan. Ketahuilah secara sadar bahwa sesungguhnya Bapak-bapak dan Ibu – Ibu terutama yang ada di semua Koligium masing masing adalah produk dari Perguruan Tinggi Kesehatan Indonesia itu sendiri, kenapa setelah berkuasa lalu mengkhawatirkan mutu lulusan Perguruan Tinggi tersebut, sekalipun Perguruan Tinggi itu telah terakreditasi Baik Sekali atau Unggul.
Selanjutnya bahwa Kompetensi ini sesungguhnya adalah perpaduan tiga ranah yaitu Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan dalam satu kesatuan tindak, dimana penilai ranah sikap sesuai ketentuan hanya dapat dilakukan dengan Observasi dalam jangka waktu yang cukup, sementara ranah Keterampilan dievaluasi melalui unjuk kerja ditempat kerja atau di laboratorium kelas.
Pertanyaannya :
1. Logiskah, Uji Kompetensi dilakukan selain Perguruan Tinggi dimana mahasiswa tersebut berada. Jelas tidak logis dan kurang diterima akal sehat proses Uji Kompetensi ini di Tarik Keluar dari Perguruan Tinggi.
2. Kalau dipaksakan juga penyelengaraan Uji Kompetensi keluar dari Perguruan Tinggi, disamping bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku, juga rawan dalam penggunaan anggaran Pemerintah. Sekiranya pembiayaan dibebankan kepada Kemenkes, bolehkah anggaran Kemenkes digunakan untuk membiayai mahasiswa yang ada di Perguruan Tinggi Indonesia, atau sebaliknya dibiayai oleh Kemendiktiseintek RI? Pertanyaannya juga sama, sebaliknya di pungutan kepada peserta uji kompetensi juga berpotensi kepada pungutan liar, seperti yang dilakukan oleh Komite Nasional Uji Kompetensi yang pemungutan disetorkan ke salah satu rekening yang dititipkan di Warek 2 Universitas Diponegoro dan tahun ke 4 dipindah ke warek 2 Universitas Brawijaya dan sekarang dipindah lagi ke warek 2 Universitas Jember dikarenakan pemungutan tersebut, tidak mendapatkan persetujuan DPR RI atau mendapat persetujuan Menteri Keuangan RI, sehingga perbuatan tersebut berpeluang menjadi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yang sudah mulai mendapat perhatian dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
3. Adanya sanksi pidana bagi setiap Individu, kelompok, atau Perguruan Tinggi yang tanpa hak menyelenggarakan dan menerbitkan Sertifikat Kompetensi kepada peserta didik, itu makanya di pasal 61 Undang undang Nomor 20 tahun 2003, lulus Uji Kompetensi yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang terakreditasi atau Lembaga Sertifikasi yang terakreditasi.
Demikian pemikiran dan analisis sebagai sebuah refleksi bagi kita semua untuk dapat dibuat serta dapat dipedomani oleh berbagai pihak dan para pemangku kepentingan dalam mengambil kebijakan yang komprehensif berdasarkan pokok pikiran diatas.
Jakarta, 10 Desember 2024
Hormat kami,
Ketua Umum Aliansi Perguruan Tinggi Kesehatan Indonesia
DR. Hj. GUNARMI SOLIHIN, SKM, M.Kes