Disaster Management Penanggulangan Gempa Pasaman – Pasaman Barat dan Percepatan Recovery Pasca Gempa

Penulis : Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H.

[Perantau Pasaman, Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi]

Pasaman Barat dan Pasaman diterjang gempa, gempa bumi tektonik dengan magnitudo M 6,2 itu terjadi pada pukul 08.39 WIB, Jumat, 25 Februari 2022. gempa bumi yang terjadi merupakan jenis gempa kerak dangkal atau shallow crustal earthquake akibat aktivitas sesar aktif, yaitu Sesar Besar Sumatera tepatnya pada Segmen Angkola bagian selatan. Gempa bumi ini berdampak dan dirasakan di Bukittinggi, tempat penulis berdomilisi hingga sejumlah daerah dengan skala intensitas berbeda-beda.

Gempa Pasaman Barat ini merupakan gempa memiliki tipe II, yaitu jenis gempa yang diawali Gempa Pembuka (foreshocks), kemudian terjadi Gempa Utama (mainshock), dan diikuti serangkaian Gempa Susulan (aftershocks). Hasil monitoring BMKG hingga pukul 15.00 WIB, Sabtu 26 Februari 2022 menunjukkan telah terjadi 62 kali aktivitas gempa susulan atau aftershock dengan magnitudo terbesar M5,1.

Tulisan ini berawal dari bincang pagi Radio Republik Indonesia (RRI) Kota Bukittinggi, kebetulan penulis sebagai narasumber ikut memberikan pandangan sebagai perantau Pasaman. Adanya polemik bantuan terhadap korban gempa yang tidak tepat sasaran dan diberitakan media nasional seperti yang diberitakan koran kompas banyak tertahan. Dan koran kompas juga memberitakan bahwa ada korban gempa Pasaman bolak-balik ke kantor desa minta bantuan tapi yang bantuan tetap tidak didapat. Ini diperkuat dengan kedatangan Menko PMK, Muhadjir Effendy juga dalam hal memastikan distribusi bantuan gempa merata, sebagaimana yang diberitakan oleh Harian Singgalang, pada Jumat, 4 Maret 2022.

Dari kejadian bencana, hingga polemik bantuan terhadap korban gempa yang tidak tepat sasaran dan diberitakan media nasional seperti kompas banyak tertahan berdasarkan kajian PPKHI Bukittinggi sesuai dengan adagium hukum lex prospcit, non respicit (Hukum melihat ke depan, bukan kebelakang) dan juga lex semper dabit remedium (Hukum selalu memberi obat), maka telah kewajiban para oficium nobile (profesi terhormat) untuk memberikan legal opinion (opini hukum). PPKHI Bukittinggi melihat ada tiga permasalahan yang terlihat dalam penanggulan bencana gempa Pasaman dan Pasaman Barat ini, pertama, penerapan standar prosedur operasional (SOP) penanggulangan bencana, kedua, diduga masih ada kurangnya koordinasi antar instansi yang menangani bencana, dan ketiga, pengembangan mitigasi bencana belum dilakukan secara maksimal. Dari sini dapat dilihat bahwa ukuran masih belum siapnya pemerintah dalam mengelola bencana.

Gempa sendiri merupakan kejadian yang dapat dikatakan berulang dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, tidak diimbangi dengan penanganan bencana yang baik dan professional. Bahkan lebih terlihat mekanisme penanganannya dilakukan secara temporer dan tidak berkesinambungan. Ketidakseriusan penanganan bencana di Indonesia, terlihat tidak adanya prosedur pelayanan standar (SOP) yang dilakukan apabila terjadi bencana dari tingkat pusat hingga daerah. Jika pun ada SOP yang diterapkan maka pelaksanaan SOP-nya tidak terstandarisasi dengan baik antara tingkat pusat dan daerah.

Penerapan stakeholder atas pedoman atau SOP yang sebenarnya telah ada membuat ketidaksigapan semua pihak dalam penanganan bencana, sehingga selalu tergagap apabila bencana itu datang. SOP atau pedoman seharusnya disosialisasikan kepada para pihak dan masyarakat, diujicobakan dan dilatihkan secara terus menerus dalam waktu yang lama, agar masyarakat dan stajeholder lainnya mempunyai pengalaman dan terjadinya pembiasaan

Selanjutnya, hal yang menjadi perhatian dalam penanganan bencana sejauh ini di Indonesia, tidak terlihat adanya koordinasi yang baik antara lembaga-lembaga teknis yang menangani bencana alam di Indonesia. Koordinasi BMKG dan jajaran terkait harus ada, apalagi data dari BMKG sangat diperlukan seperti adanya fakta bahwa setelah Ratusan Tahun, BMKG Temukan Patahan Baru di Sekitar Gunung Talamau. Kita belum melihat dengan jelas bagaimana koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan Badan Meteorologi Klimotologi dan Geofisika (BMKG) dan juga dengan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat.

Terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai koordinasi, yaitu Pasal 4,  Pasal 15 ayat (2), Pasal 19 ayat (2), Pasal 23 ayat (2), Pasal 36 ayat (2), dan Pasal 40 ayat (2). Yang pada prinsipnya bahwa penanggulangan bencana di Indonesia itu dikoordinasikan oleh suatu badan yang dibentuk oleh Pemerintah, yang bernama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Badan ini merupakan Lembaga Pemerintah Nondepartemen setingkat menteri. Fungsi Badan ini terkait dengan koordinasi diatur dalam Pasal 13 huruf b, dimana salah satu fungsi BNPB adalah pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Sedangkan untuk tingkat daerah, fungsi koordinasi dilakukan oleh badan penanggulangan bencana daerah, yang dibentuk oleh pemerintah daerah, dimana pelaksanaan tugasnya tetap berkoordinasi dengan BNPB. Dengan demikian sebenarnya pengaturan mengenai koordinasi dalam upaya pengelolaan bencana telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Berarti dalam tingkat pelaksanaan perlu dievaluasi sejauh mana koordinasi yang telah dilakukan, apakah telah dilakukan secara terencana, terpadu, dan menyeluruh, atau tidak.

Selanjutnya permasalahan yang perlu menjadi perhatian adalah pengembangan mitigasi bencana belum dilakukan secara maksimal baik oleh Pemerintah maupun oleh pemerintah daerah, pada hal mitigasi bencana merupakan langkah yang tepat untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Terkait dengan pengembangan mitigasi bencana, hal ini perlu dikaji dan diamati secara serius. Dalam definisi mitigasi dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Penanggulangan Bencana, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Dalam Pasal 44 Undang-Undang Penanggulangan Bencana, dinyatakan sebenarnya kegiatan mitigasi bencana sendiri merupakan bagian dari penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana. Selanjutnya dalam Pasal 47 Undang-Undang Penanggulangan Bencana dinyatakan bahwa mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Kegiatan tersebut dilakukan melalui pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.

Kajian PPKHI Bukittinggi berharap agar penanggulangan bencana dapat sesuai dengan tujuan penanggulangan bencana Jika kita lihat Pasal 4 Undang-Undang Penanggulangan Bencana, diterangkan bahwa tujuan penanggulangan bencana, yaitu: memberikan pelindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana, menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada, menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh, menghargai budaya lokal, membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta, mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan, serta menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pada prinsipnya, secara normatif pengelolaan bencana di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.  Selanjutnya dalam tataran pelaksanaan di lapangan terdapat 3 (tiga) peraturan pemerintah (PP) yang melaksanakan Undang-Undang Penanggulangan Bencana ini, yaitu  PP No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan Penanggulangan Bencana, dan PP No. 23 tahun 2008 tentang Peran serta lembaga internasional dan lembaga asing dalam penanggulangan bencana. Ketentuan peraturan perundang-undangan  tersebut sebenarnya diharapkan dapat mengatur secara tepat dan cermat mengenai pengelolaan bencana di Indonesia. Namun demikian, permasalahan global yang diutarakan di atas nampaknya belum terjawab dengan keberadaan 4 (empat) peraturan perundang-undangan tersebut. Problema tersebut berulang terus manakala bencana alam terjadi di Indonesia.

Oleh karena itu, diperlukan manajemen bencana (disaster management) untuk penanganan bantuan selain itu dalam pengelolaan bencana seharusnya diperlukan suatu pengelolaan bencana terpadu yang merupakan penanganan integral yang mengarahkan semua pihak dari pengelolaan bencana sub-sektor ke sektor silang. Pengelolaan bencana terpadu sendiri, didefinisikan sebagai suatu proses  yang mempromosikan koordinasi pengembangan dan pengelolaan  bencana dan pengelolaan aspek lainnya yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam rangka tujuan untuk mengoptimalkan resultan kepentingan ekonomi dan kesejahteraan social khususnya dalam kenyamanan dan keamanan terhadap bencana dalam sikap yang tepat tanpa mengganggu kestabilan dari ekosistem-ekosistem penting.

Penanggulangan bencana diharapkan tidak hanya menitikberatkan kepada kegiatan tanggap darurat saja. Tidak hanya bertumpu kepada peran dan kemampuan pemerintah daerah. Serta supaya adanya koordinasi yang efektif baik antar unit/institusi Pemerintah Pusat, antara Pemerintah Propinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan koordinasi antar pemangku kepentingan lainnya seperti badan usaha swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, media massa dan masyarakat.

Terkait upaya mempercepat recovery dan rehabilitasi pasca gempa rehabilitasi pasca bencana Pasaman dan Pasaman Barat kita bisa berpedoman pada Peraturan Kepala BNPB Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pedoman Rahabilitasi dan Rekontruksi Pasca Bencana. Dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, (BPBD) Pasaman dan Pasaman Barat tidak akan dapat berkerja sendirian, BPBD memerlukan peran dari segala pihak untuk mendukung kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi tersebut. Oleh karena itu upaya mempercepat recovery dan rehabilitasi pasca gempa harus dilakukan bersama-sama, Pertama, harus didukung pemimpin daerah, Kedua, adanya keterlibatan dan dukungan pekerja dan masyarakat, dan Ketiga didukung perencanaan yang matang. Karna keberhasilan pemerintah daerah dalam menangani bencana bukan saja terletak pada ketersediaan perangkat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang terkait dengan kebencanaan, tetapi juga implementasi perangkat kebijakan tersebut di lapangan bersama-sama dengan seluruh masyarakat secara gotong-royong, sebagaimana tertuang dalam halaman 1 (satu) Peraturan Kepala BNPB Nomor 11 Tahun 2008 tentang Pedoman Rahabilitasi dan Rekontruksi Pasca Bencana. Dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.(*)

Ikuti kami juga dihalaman Google News

Bagikan: