Bukittinggi – Eksistensi perilaku Lesbian Gay Biseksual dan Transgender atau yang dikenal dengan LGBT di beberapa kota/kabupaten di Provinsi Sumatera Barat, termasuk di kota Bukittinggi dinilai sudah mengarah ke tahap yang memprihatinkan.
Dari beberapa peristiwa penangkapan terhadap para pelaku seks menyimpang yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum, maupun atas dasar keterangan dari para pemerhati LGBT yang dilakukan oleh para peneliti bahwa, para pelaku mengaku dirinya sedang menjalankan hubungan pacaran atas dasar suka sama suka.
Hal ini dikatakan oleh Akademisi Peneliti Perilaku Kaum LGBT di Provinsi Sumatera Barat, Nurhayati, yang juga selaku Wakil Rektor Universitas Fort de Kock Bukittinggi, (UFDK) pada Jumat, (25/10) diruang kerjanya.
“Ini kita dapatkan setelah berdiskusi dengan para pemerhati LGBT karena mereka terobsesi dengan negara Thailand, satu-satunya negara di ASEAN yang mengizinkan pernikahan pasangan sesama jenis. Mereka akan selalu menyuarakan hak-hak yang sama dengan negara lain,” kata Nurhayati.
Lanjut Nurhayati, mereka secara terbuka mengatakan sedang berpacaran berarti sudah ada pengakuan dan menunjukkan eksistensi tentang siapa diri mereka. Artinya secara terang-terangan mereka menunjukkan eksistensinya dan sudah sangat memprihatinkan.
Terkait hal itu, tentu perilaku seks menyimpang tidak sesuai dengan aturan agama, norma-norma adat istiadat yang ada di Negara Republik Indonesia. Dengan berbagai suku bangsa, agama, adat istiadat dan ras yang ada di negara kita apalagi masyarakat mayoritas negara kita menganut agama muslim tentu perilaku seperti ini tidak bisa dilegalkan.
“Dengan pesatnya perkembangan teknologi seolah eksistensi mereka tidak ada batasnya apalagi melalui media sosial di internet. Mereka beranggapan suatu hal yang bebas, akan dianggap hal yang lumrah, lama-kelamaan masyarakat akan menganggap hal biasa,” ucapnya.
Tentu ini akan mengakibatkan pergeseran nilai, pergeseran pemikiran, pergeseran norma-norma yang sudah dianggap biasa. Apalagi di media sosial, mereka bebas menunjukkan eksistensinya dengan follower yang banyak, lama-kelamaan dianggap biasa oleh masyarakat.
Sehingga ini patut menjadi perhatian kita bersama dan pemerintah untuk segera mengantisipasinya dengan membuat aturan-aturan yang baku. Salah satu antisipasi dan perhatian yang khusus dan harus disampaikan di tingkat keluarga, lingkungan, sekolah, dan dipertemuan keagamaan dan pertemuan adat, yakni dengan memberi pemahaman bahwa yang benar itu adalah pasangan yang berlawanan jenis.
Tambah Wakil Rektor Universitas Fort de Kock Bukittinggi, harus ada gerakan penolakan bersama bahwa ini harus segera diantisipasi. Karena dengan dilakukan penangkapan baik tertangkap langsung ataupun tertangkap karena dijebak, Nurhayati menilai tidak ada efek jera. Karena setelah ditangkap pun dan mereka dibawa oleh aparat penegak hukum, tidak bisa diberi sanksi yang kuat karena tidak ada undang-undang yang bisa menjerat mereka.
Akhir wawancara, Nurhayati menambahkan, setidaknya untuk mengantisipasi hal tersebut minimal kita bisa menggunakan Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota, Peraturan Bupati atau Peraturan Daerah atau Peraturan di Kampung yang bisa membatasi ruang gerak mereka agar tidak semakin meluas tanpa melanggar atau mengenyampingkan hak asasi manusia. (*)