Perda Bantuan Hukum Diperlukan Bukittinggi untuk Wujudkan Cita-cita Bung Hatta di Bidang Hukum
Penulis : Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H.
[Kepala Bidang Hukum dan Pengamanan Partai Demokrat Bukittinggi dan Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi]
Hari ini, 12 Agustus 1902 silam, merupakan kelahiran Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia pertama. Orang lebih mengenal Bung Hatta sebagai ekonom. Tetapi semasa hidupnya, ia pernah memperoleh doktor honoris causa di bidang hukum dari Universitas Indonesia.
Alasan Universitas Indonesia sendiri ketika penulis simak sejarah pemberian gelar doktor honoris causa di bidang hukum kepada Bung Hatta karna menurut Universitas Indonesia Bung Hatta sudah lebih kurang 40 tahun, ia telah merenungkan dan memikirkan perlunya suatu sistem hukum yang lebih sesuai dengan rakyat banyak.
Sama seperti Putri Bung Hatta, penulis sebagai warga Bukittinggi juga berterima kasih kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karna Bung Hatta sendiri baru saja menerima gelar pahlawan nasional secara legalistik semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di mana saat itu turun keputusan Presiden penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Ir Soekarno dan Drs Mohammad Hatta. Tepatnya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 83/TK/Tahun 2012 tanggal 7 November 2012 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI pertama almarhum Dr. (H.C.) Ir. Soekarno, dan Keputusan Presiden RI Nomor 84/TK/Tahun 2012 tanggal 7 November kepada Wakil Presiden RI pertama almarhum Dr. (H.C.) Drs. Mohammad Hatta.
Penghargaan kepada Soekarno diterima oleh Guntur Soekarnoputra, dan untuk Bung Hatta diterima oleh Meutia Hatta. Pemberian ini memang dinilai agak terlambat, tetapi Meutia Hatta tetap bersyukur dan menyatakan beruntung masih diingat jasa-jasa Soekarno dan Mohammad Hatta dalam perjuangan Indonesia merdeka.
Tidak banyak yang tahu, bahwa pada sekitar tahun 1932, Bung Hatta telah merasakan, merenungkan dan memikirkan perlunya suatu sistem hukum yang lebih sesuai dengan kepentingan rakyat banyak. Dalam hubungan ini Padmo Wahjono mengemukakan, bahwa Bung Hatta dengan karya-karya tulisnya sebagai bukti, menggerakkan sarjana hukum dan setiap orang yang berusaha dengan segala daya dan upaya untuk berkecimpung dibidang hukum dan ilmu hukum untuk memikirkan dan merumuskan, Sistem Hukum Pancasila. Dan itu pula salah satu alasan Universitas Indonesia menganugerahkan gelar Doktor Kehormatan dalam ilmu hukum kepada Bung Hatta tahun 1975 yang lalu.
Bung Hatta pernah menyatakan bahwa, “Rakyat itu jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat kita….”. Dengan ungkapan yang demikian, maka esensi dari hukum yang bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati nurani rakyat adalah hukum yang tidak menindas rakyat. Hal ini sejalan dengan pemikiran Bung Hatta mengenai negara hukum Indonesia, yakni negara hukum yang berdasarkan Pancasila.
Perda Bantuan Hukum Amanat Konstitusi
Negara hukum berdasarkan Pancasila ini memiliki salah satu prinsip negara hukum yang menyatakan jaminan bahwa setiap orang mempunyai persamaan didepan hukum, konstitusi negara Indonesia menyatakannya dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyebutkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Konstitusi juga menyebutkan dengan tegas dalam Pasal 28D bahwa setiap orang berhak atas pengkuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Hal ini bermakna bahwa setiap orang baik kaya maupun miskin mempunyai hak yang sama didepan hukum, tentu saja ini juga mencakup hak untuk dibela dihadapan hukum atau bantuan hukum. Bantuan hukum juga merupakan hal yang harus diberikan negara pada masyarakat miskin, hal ini diperkuat dengan Pasal 34 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Ketika masyarakat miskin tidak mampu membiayai advokat untuk mendampinginya dalam suatu kasus hukum, maka berdasarkan konstitusi, negara harus menyelenggarakan suatu sistem yang memastikan masyarakat miskin tersebut mendapat bantuan hukum secara cuma-cuma.
Jaminan hak atas bantuan hukum juga ditegaskan lagi oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No 006/PUU-II/2004 yang menyatakan bahwa: “akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain negara hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang (accessible to all), sebagaimana diakui dalam perkembangan pemikiran kontemporer tentang negara hukum. Jika seorang warga negara karena alasan finansial tidak memiliki akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan sesungguhnya juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru menutupnya”. Kemudian dilanjutkan bahwa “akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak untuk diadili secara fair adalah melekat pada ciri negara hukum (rule of law), dan karenanya dinilai sebagai hak konstitusional”.
Konsepsi bantuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Bantuan Hukum merupakan bantuan pembiayaan dari Negara bagi masyarakat miskin yang berhadapan dengan hukum untuk mendapatkan akses keadilan. Salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan akses keadilan tersebut adalah terbatasnya dana APBN. Karena itu Pemerintah Pusat mendorong Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan Anggaran Bantuan Hukum melalui APBD.
Penganggaran Bantuan Hukum dalam APBD baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota merupakan upaya perluasan akses keadilan. Meskipun penyelenggaraan bantuan hukum dimandatkan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum juga membuka ruang penganggaran bantuan hukum oleh Pemerintah Daerah.
Selama ini terdapat keragu-raguan dari Pemerintah Daerah termasuk Pemerintah Kota Bukittinggi dalam hal kewenangan pusat-daerah dan kemauan politik Pemerintah Daerah untuk menetapkan Peraturan Daerah tentang Bantuan Hukum. Hal ini karena disebabkan oleh lemahnya pemahaman dalam melihat relasi antara agenda utama pembangunan (khususnya pemberantasan kemiskinan) dengan bantuan hukum.
Keraguan ini muncul disebabkan oleh adanya anggapan bahwa bantuan hukum merupakan bagian dari urusan pemerintahan absolut, yaitu urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini urusan pemerintahan dalam bidang yustisi sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Akses terhadap keadilan mesti disadari memiliki peran yang instrumental di dalam pembangunan dan memperkuat keberdayaan masyarakat kota. Dengan program Bantuan Hukum, masyarakat miskin dapat memperoleh akses terhadap hak-hak mereka seperti layanan publik, layanan kesehatan, dan pendidikan.
Bung Hatta juga pernah berkata, “Apa yang dilakukan oleh orang setelah mendengar suatu khotbah jauh lebih penting dari apa yang dikatakannya tentang kotbah itu.” Maka setelah kita mendengar amanat konstitusi dan aturan turunannya, seharusnya kita segera mewujudkan adanya Perda Bantuan Hukum di Bukittinggi sekaligus melaksanakan cita-cita Bung Hatta agar terwujudnya negara hukum pancasila yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena pemberian bantuan hukum, mempunyai manfaat besar bagi perkembangan pendidikan penyadaran hak-hak masyarakat yang tidak mampu khususnya secara ekonomi, dalam akses terhadap keadilan, serta perubahan sosial masyarakat ke arah peningkatan kesejahteraan hidup dalam semua bidang kehidupan berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai hukum menjadi salah satu penyebab pentingnya dilakukan pendampingan terhadap masyarakat yang berhadapan dengan hukum. Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang diatur penyelenggaraannya dengan Peraturan Daerah.
Pengalokasian anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum di daerah disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah serta berdasarkan kondisi masyarakat di daerah baik secara kultur maupun budaya sehingga Peraturan Daerah yang ditetapkan dapat dilaksanakan serta memenuhi rasa keadilan dan kebutuhan masyarakat. Dengan adanya Peraturan Daerah yang mengatur tentang Penyelenggaraan Bantuan Hukum maka hak konstitusional orang atau kelompok orang miskin di daerah dapat terjamin.
Equality before the law and equal access to justice merupakan suatu prinsip hukum universal yang menegaskan bahwa semua orang harus mendapat perlakuan yang sama di muka hukum dan bahwa semua orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan keadilan.
Namun dalam kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat, pada prakteknya masih terdapat masyarakat miskin yang tidak dapat dengan mudah mendapatkan keadilan dan persamaan didepan hukum. Sebagai negara hukum maka hukum harus berada di atas segala-galanya (Supremacy of Law). Sebagai konsekuensi dari negara hukum, hak untuk mendapatkan bantuan hukum harus dipenuhi oleh negara dan itu merupakan bagian dari jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Negara hukum dan hak asasi manusia merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Kelompok masyarakat miskin sangat rentan mengalami pengabaian akan hak-hak mereka, yang dapat saja berujung pada perlakuan diskriminatif dan tidak adil terhadap masyarakat miskin dalam mendapatkan persamaan di depan hukum dan proses peradilan. Oliver Goldsmith, seorang sarjana Inggris, menyebutkan dengan istilah, “Laws grid the poor and rich men rule the law” (S. Tasrif, 1971:31). Masyarakat kecil dan miskin begitu sulit mendapatkan keadilan tanpa adanya campur tangan dan bantuan dari negara. Untuk mendapatkan hak-haknya tentu saja masyarakat miskin tersebut perlu mendapatkan penjaminan dari negara, perbedaan sosial dan permasalahan pada struktur sosial masyarakat tak akan dapat diselesaikan tanpa adanya campur tangan negara.
Menghadapi kenyataan keragu-raguan dalam mewujudkan Perda Bantuan Hukum yang secara kajian akademis Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi terjadi di beberapa daerah di Indonesia termasuk di Bukittinggi. Ini semacam menemukan momentumnya karna tak lama lagi kita memang menuju pemilu legislatif 2024. Di mana pada tahun itu pemilih dari generasi milenial dan generasi Z diprediksi akan mendominasi suara pada Pemilu 2024. Dari daftar pemilih tetap (DPT) pemilu serentak 2019, pemilih berusia 20 tahun mencapai 17.501.278 orang, sedangkan yang berusia 21-30 tahun sebesar 42.843.792 orang. Jumlah pemilih milenial dan generasi Z diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 60 persen dari total suara pemilih. Kita berharap muncul insan millenial yang layak dipilih atau menjadi pemilih yang bervisi mewujudkan cita-cita Bung Hatta di bidang hukum ini.
Maka tak salah Bung Hatta sengaja berpesan kepada anak muda bahwa sejarah pemerintahan sebagai peringatan bagi kaum muda. Karna pada akhirnya, kaum mudalah yang akan memimpin menggantikan kaum tua. Kesadaran kaum muda sangat menentukan perjalanan Indonesia sebagai negara hukum di masa depan. Dan kaum muda haruslah tetap mengedepankan jalan hukum ketimbang menggunakan kuasa dalam menyelesaikan persoalan. Dengan mengutip pandangan Prof. H. Krabbe, Hatta sangat yakin, kedaulatan hukum akan menggantikan kekuasaan penguasa.
Untuk itulah kaum muda perlu terus membangun kesadaran hukum masyarakat. Seperti kata Hatta pada bagian-bagian akhir pidatonya. Semakin bertambah keinsafan hukum dalam masyarakat, semakin dekat kita pada pelaksanaan negara hukum yang sempurna.(*)